Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama, al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu
keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah). Karena golongan yang pertama
sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya mengkaji golongan yang
kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani Ismail. Bani Ismail as
adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi Ibrahim as yang mula-mula
berdiam di kota Ur yang merupakan kota di Babylonia. Nabi Ibrahim as
meninggalkan kota Ur dan berpindah ke Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as
mempunyai anak dari Siti Hajar yang bernama Ismail as, mereka pindah ke
Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.
Nabi Ismail as mempunyai putera sebanyak
dua belas orang, masing-masing mempunyai keturunan. Tetapi kemudian
keturunan mereka terputus, hanya keturunan Adnan-lah yang berkembang
biak, sebab itu bani Ismail ini dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani
Qahthan menurunkan suku Tajib dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari
Mesopotamia dan kemudian pindah ke negeri Yaman. Penduduk asli Yaman
adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka diutus Nabi Hud as. Mereka
dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan angin yang amat keras. Kaum
‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad pertama, sedangkan kaum ‘Ad
yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut kaum ‘Ad kedua.
Sesudah Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah
di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu kota yang paling masyhur di tanah
Hijaz, dan berdatanganlah orang dari segenap penjuru jazirah Arab ke
Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan
kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.
Pertama kali kota Mekkah dipegang oleh
bani Adnan, karena itu bani Adnanlah yang memelihara dan menjaga Ka’bah.
Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah, maka berpindahlah satu suku yang
bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah dan mereka merampas kota Mekkah
dari tangan bani Adnan. Dengan demikian berpindahlah penjagaan Baitullah
dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.
Di kemudian hari, dari suku Quraisy
terdapat seorang pemimpin yang kuat dan cerdas, namanya Qushai. Qushai
ini beruntung dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian
mengusir bani Khuza’ah itu dari Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan
di Mekkah ke tangan bani Adnan. Kemudian Qushai diangkat menjadi raja
yang di tangannya terhimpun kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah
Qushai meninggal kekuasaan tersebut dipegang oleh keturunannya yang
bernama Abdi Manaf.
Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu
Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.Hasyim adalah keluarga yang
dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul Muhammad bin Abdullah bin
Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il
dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan
Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani
Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim.
“.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).
Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk,
lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik
dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku
diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu
menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah
sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara
mereka”. (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).
Dari keturunan inilah Allah swt telah
menerbitkan cahaya cemerlang, menerangi semesta alam, dikarenakan agama
Islam yang dibawa keturunan Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang
berasal dari keturunan Qahthan. Diantara keturunan Adnan yang berada di
Hadramaut adalah kaum Alawiyin, sebelumnya mereka menetap di Basrah,
Iraq.
Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir. Kepindahannya
ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang
secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa
ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu
keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan
yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat
pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa
keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang
bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan
disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup
banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau
dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah
keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut
mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.
Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan
: Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far
Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan
perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari
negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai
di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.
Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq
ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya,
Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy,
bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan
nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama
Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak
lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat
dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam
al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor
unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan
menetap di Iraq.
Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah
al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah
kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan
pedang di al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke
tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir
berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau
menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya
yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal.
Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di
Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan
dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan,
setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang
sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut
yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh
dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat
Islam yang sebenarnya. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil
menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan
dalil dan argumentasi.
Maka masuklah Imam al-Muhajir ke
Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara
yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij
yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka
berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah al-Masyaikh
al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka
meninggalkan madzhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang
datang dari Iraq.
Kaum Khawarij tidak mengakui atau
mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw.
Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw,
sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia
beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang
hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap
ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari
rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir
beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita
tentang kesaksian itu ke Hadramaut.
Dan diantara ulama ahli nasab dan sejarah
yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan
al-Imam al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah : pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua,
al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali
al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-Musajjar. Ketiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat,
al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat
al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai
hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal
pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.
Dan terdapat pula dari beberapa ulama
nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan
Rasulullah yang mulia ialah al-Imam al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi
dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib.Selain
mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan
Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang
tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan
masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan
keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan
kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab,
Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat
tentang keberadaan mereka.
Di antara peneliti tersebut ialah
al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu
Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan,
Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd,
Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan
oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir,
nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan
Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.
Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan
masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai
keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan
Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda :
‘Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya
kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali
mereka dan akulah ashabah mereka’.
Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan
:‘Kaum Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di
semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah,
baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu
adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling
banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya’.
Ahmad bin Isa wafat di Husaisah pada
tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah
dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan
mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam
tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu
keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu
keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan
Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi,
yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.
Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang
anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok
Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara,
India dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai
peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para
penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena
karya mereka yang baik dan agung.
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah
Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India.
Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung
dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang
hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih
ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi
pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus
yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan
kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul
Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal
keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo.
Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia,
yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan
propinsi Aceh.
Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman
kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu
datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu,
Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam
penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun
kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan
di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau
dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota
Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh.
Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh
keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa
sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah
raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji
Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang
turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana
mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari
Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka
datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah
keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar,
Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail,
Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil,
Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang
menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin
Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari
Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir
Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan
silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali
al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya
cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.
Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang
secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan
kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka
yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke
Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah
tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur
Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun
1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu
menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat
imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di
antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama
sekali.
Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar
Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya.
Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya
dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab
lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang,
Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab
yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.
Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya
Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili
mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena
berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu
banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan
lainnya.
Sumber: Pondok Habib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar