Qashidah Burdah memang selalu didengungkan oleh para pecintanya setiap saat. Di berbagai negeri Islam, baik di negerinegeri Arab maupun ‘ajam (non-Arab), ada majelis-majelis khusus untuk pembacaan Burdah dan penjelasan bait-baitnya. Tak henti-hentinya muslimin di seluruh penjuru dunia menjadikannya sebagai luapan kerinduan pada Nabi.
Burdah
bukan sekadar karya. Ia dibaca karena keindahan kata-katanya. Dr. De
Sacy, seorang ahli bahasa Arab di Universitas Sorbonne, Prancis,
memujinya sebagai karya puisi terbaik sepanjang masa.
Di Hadhramaut dan banyak daerah Yaman
lainnya diadakan pembacaan qashidah Burdah setiap subuh hari Jum’at atau
ashar hari Selasa. Sedangkan para ulama Al-Azhar di kota Mesir banyak
yang mengkhususkan hari Kamis untuk pembacaan Burdah dan mengadakan
kajian. Sampai kini masih diadakan pembacaan Burdah di masjid-masjid
besar di kota Mesir, seperti Masjid Imam Al-Husain, Masjid As-Sayyidah
Zainab. Di negeri Syam (Syiria) majelis-majelis qashidah Burdah juga
digelar di rumah-rumah dan di masjid-masjid, dan dihadiri para ulama
besar. Di Maroko pun biasa diadakan majelis-majelis besar untuk
pembacaan qashidah Burdah dengan lagu-lagu yang merdu dan indah yang
setiap pasal dibawakan dengan lagu khusus.
Burdah tak hanya indah kata-katanya, tapi
doadoanya juga memberi manfaat pada jiwa. Karena itu tak mengherankan
jika banyak ulama memberikan catatan khusus tentang Burdah, baik dalam
bentuk syarah (komentar) maupun hasyiyah (catatan kaki atau catatan
pinggir). Sangat banyak karya syarah atas Burdah yang tak diketahui lagi
siapa pengarangnya.
Qashidah Burdah adalah salah satu karya
paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya sajak sajak pujian
kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan
semangat perjuangan. Hingga kini Burdah masih sering dibacakan di
berbagai pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Banyak pula
yang menghafalnya. Karya itu telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum,
Indonesia/Melayu, Inggris, Prancis, Jerman, Italia.
Pengarang qashidah Burdah ialah
Al-Bushiri (610-695H/1213-1296 M). Nama lengkapnya Syarafuddin Abu
Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Bushiri. Selain menulis Burdah, Al-Bushiri
juga menulis beberapa qashidah lain. Di antaranya Al-Qashidah
Al-Mudhariyah dan Al-Qashidah Al-Hamziyah.
Al-Bushiri adalah keturunan Berber yang
lahir di Dallas, Maroko, dan dibesarkan di Bushir, Mesir. Ia murid sufi
besar Imam Asy-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abul Abbas Al-Mursi,
tokoh Tarekat Syadziliyah. Di bidang fiqih, Al-Bushiri menganut Madzhab
Syafi‘i, madzhab fiqih mayoritas di Mesir.
Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya
sendiri dalam mempelajari Al-Quran, di samping berbagai ilmu
pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya.
Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusastraan Arab, ia pindah ke Kairo.
Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang andal.
Kemahirannya di bidang syair melebihi para penyair pada zamannya.
Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah.
Di dalam qashidah Burdah diuraikan
beberapa segi kehidupan Nabi Muhammad SAW, pujian terhadap beliau, cinta
kasih, doa-doa, pujian terhadap Al-Quran, Isra Mi’raj, jihad, tawasul,
dan sebagainya. Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis,
Al-Bushiri tidak saja telah menanamkan kecintaan umat Islam kepada
nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai
moral, kepada kaum muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika
qashidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf.
Al-Burdah, menurut etimologi, banyak
mengandung arti, antara lain baju (jubah) kebesaran khalifah yang
menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang
khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya, temanteman, dan
masyarakat pada umumnya. Burdah juga merupakan nama qashidah yang
digubah oleh Ka‘ab bin Zuhair bin Abi Salma yang dipersembahkan kepada
Rasulullah SAW.
Ada sebab-sebab khusus dikarangnya
qashidah Burdah. Suatu ketika Al-Bushiri menderita sakit lumpuh sehingga
tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Lalu dibuatnya syair-syair
yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’atnya. Di
dalam tidurnya, ia mimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi
mengusap wajah Al-Bushiri, kemudian beliau melepaskan jubahnya dan
mengenakannya ke tubuh Al-Bushiri. Saat ia bangun dari mimpinya,
seketika itu juga ia sembuh dari lumpuhnya.
Al-Bushiri adalah seorang yang menjalani
kehidupan sebagaimana layaknya para sufi, yang tercermin dalam
kezuhudannya, ketekunannya beribadah, serta ketidaksukaannya pada
kemewahan dan kemegahan duniawi. Di kalangan para sufi, ia termasuk
dalam jajaran sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh Al-Manufi menulis di dalam
bukunya, Jawharat al-Awliya’, bahwa Al-Bushiri tetap konsisten dalam
hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya.
Makamnya yang terletak di Iskandaria,
Mesir, sampai sekarang masih diziarahi orang. Makam itu berdampingan
dengan makam gurunya, Abul Abbas Al-Mursi.
Memuji
Nabi Muhammad bukanlah menganggap beliau sebagai Tuhan.. Menyanjung
Rasulullah adalah mengakui Muhammad SAW sebagai manusia pilihan. “Kami
tidak mengutus engkau (hai Muhammad) kecuali (sebagai) rahmat bagi alam
semesta (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin).” Itu firman Allah.
Sumber ajaran memuji dan mencintai Nabi tak lain adalah Islam itu
sendiri. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Didiklah anak-anakmu dalam
tiga tahap. Mencintai Nabi, keluarganya, dan membaca Al-Quran.”
Untuk mencintai kekasih, apalagi beliau
itu adalah kekasih Tuhan, Al-Quran mengajarkan dan menganjurkan kepada
umat Islam, sebagaimana tertera dalam Kitabullah, “Sungguh Allah dan
para malaikat bershalawat atas Nabi. Hai orang beriman, bershalawatlah
atasnya dan berilah salam kepadanya dengan sehormat-hormatnya salam.”
(QS 33: 56).
Shalawat, jika datangnya dari Allah
kepada nabi-Nya, bermakna rahmat dan keridhaan. Jika dari para malaikat,
berarti permohonan ampun. Dan bila dari umatnya, bermakna sanjungan dan
pengharapan, agar rahmat dan keridhaan Tuhan dikekalkan.
Dalam surah yang lain Allah memuji
hamba-Nya yang satu ini dengan, “Sungguh engkau (hai Nabi) benar-benar
dalam budi dan perangai yang tinggi.” Allah tak pernah memanggil namanya
langsung, seperti “hai Muhammad”, melainkan “hai Nabi”, “hai Rasul”,
“hai pria yang berselimut”. Di samping itu bukankah Baginda sendiri yang
menganjurkan kita untuk menghaturkan sanjungan (madah) terhadap diri
beliau? Seorang nabi yang telah digambarkan oleh Al-Quran sebagai
“pencurah rahmat bagi seluruh alam semesta”. Seperti diharapka beliau
dalam banyak hadits agar kaumnya banyak menyebut namanya.
“Sebutlah selalu namaku, sungguh
shalawatmu itu sampai kepadaku,” sabdanya. Bahkan dianjurkan agar umat
Islam banyak-banyak menyebut namanya di malam Jum’at. Seperti dalam
riwayat lain, sungguh menyebut nama Muhammad SAW akan dijawab (dengan
pahala) berlipat-lipat…..subhanallah….
Dan Saya juga bersama teman-teman dari Teater Eska UIN SUNAN KALIJAGA JOGJAKARTA mementaskan sebuah pertunjukan tadarus puisi dengan tema "Qasidah Burdah al Busyiri" yang di sutradarai oleh Rahmad Hidayat dari Ciamis. Di pentaskan di beberapa pesantren di Demak, Kudus dan Jepara. Semoga kami yang masih dalam keterpurukan bisa bangkit dengan mendapat Ghiroh/spirit dari Qasidah Burdah. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar