Al Barudi mempunyai nama lengkap Mahmud Sami Pasha bin Hasan Husni Bek al Barudi yang lahir
dikawasan Bakhirah tepatnya di desa Itay al Barud pada tahun 1838
M/1255 H.[1]
Semenjak kecil ia dibesarkan oleh keluarga Jarkasyi, ayahnya wafat saat ia
berumur 7 tahun. Sejak saat itulah keluarga Jarkasyi sebagai sanak familinya
mengambil alih kehidupan Barudi kecil,
mengasuhnya, serta membina pendidikannya. Menginjak masa remajanya pada
umur 12 tahun al Barudi tertarik untuk
menempuh dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kemiliteran dan lulus ketika
usianya menginjak 26 tahun. Jabatan yang pernah disandangnya ialah sebagai
mentri pertahanan dan mentri perwakafan.
Kesuksesan karirnya
dalam dunia militer di peroleh dengan kerja keras, dan ia memulainya dari bawah. Al
Barudi dikenal sebagai seorang prajurit yang militan, sangat disiplin dan berpikir
tajam, maka tidak heran bila dalam jangka waktu yang relatif singkat ia telah
memperoleh pengetahuan yang mumpuni dalam dunia militer, menguasai banyak teori
dan strategi-strategi kemiliteran secara komperhensif. Setelah lulus dari
sekolahnya di Mesir, al Barudi dikirim menuju
Paris dan Inggris untuk urusan militer. Pada tahun 1294 H ia di angkat sebagai
komandan perwira. Pada tahun 1282 H/1879 M ia mengikuti sebuah perang
di Semenanjung Kerit atas nama Mesir membantu Turki untuk melawan Rusia.[2]
Dalam dunia militer
karirnya semakin melesat naik, pada tahun 1299 H al Barudi diangkat sebagai
Perdana menteri di Mesir. Kesuksesan dan kecemerlangannya dalam dunia
kemiliteran membuat banyak orang menjulukinya dengan sebutan “Si Raja Pedang”.
Ketika bangsa Arab
mengadakan pemberontakan, al Barudi ditangkap
dan dibuang ke daerah Sarnadib (Sailan) selama 17 tahun. Dalam masa
pembuangannya itu ia banyak merenung dan merefleksikan diri tentang
kehidupannya, walau pada akhirnya sebelum di bebaskan ia terserang
penyakit yang membuat kedua matanya buta. Setelah bebas ia dikembalikan lagi ke
Mesir. Dan disana jugalah menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi al Barudi, ia meninggal
dunia pada tahun 1904 M di Kairo.[3]
Menulusuri kehidupannya
dalam dunia sastra itu tampak pada saat al Barudi masih kecil,
semenjak ayahnya wafat (1845 M) ia hidup dalam kesunyian. Situasi dan keadaan
tersebut mempunyai hikmah positif, ia memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca
banyak buku. Al-Barudi saat itu sangat menyukai menelaah buku-buku sastra
klasik terutama yang menyangkut dengan tema peperangan, patriotisme dan
kepahlawanan. Dalam karya-karya sastranya kita bisa melihat keterpengaruhan al Barudi oleh para
penyair pujaannya seperti Umrul Qais dan Ibnu Mutaz. Ketika ia merantau untuk
beberapa kepentingan ke Turki, saat itu ia memanfaatkan untuk mempelajari
bahasa Turki terutama dalam bidang kesusastraannya, tentunya tanpa meninggalkan
perhatiannya dalam sastra Arab.
Bakat dan kepiawaiannya
dalam sastra Arab itu membawanya menjadi salah seorang tokoh penting dalam
dunia sastra Arab. Jasanya yang paling besar adalah memecahkan kebuntuan para
penyair pada masanya dari kejumudan dan kerusakan bahasa. Sejak berdirinya
dinasti Ustmani sampai runtuhnya pada awal abad 18, peradaban bangsa Arab
mengalami keterpurukan dalam berbagai bidang, termasuk menjurus ke bidang sastra
yang menjadi cerminan kehidupan bangsanya. Pada masa Turki Ustmani, model
puisinya sangat dangkal dan artifisial, mungkin dikarenakan bahasa Arab
bercampur dengan dialek Ustmani yang sempit ditambah lagi pada masa itu
pemerintah disibukkan dengan mengawasi hegemoni daerah taklukan Turki yang
sangat luas, apalagi pada masa al Barudi banyak daerah Arab yang diduduki pemberontak,
sehingga perhatian penguasa saat itu sangat kurang tentang memajukan keilmuaan
dan peradaban khususnya dalam bidang sastra dan puisi Arab.
Melihat realitas
kejumudan dan kerusakan bahasa itulah al Barudi memberikan suatu
pembaharuan dalam dunia sastra Arab. Pembaharuan al Barudi bisa di lihat dari
meluasnya tema-tema lama dalam pembuatan puisi, dan itu bisa dikatakan
berhasil, karena keberhasilan dalam dunia sastra bisa ditopang dari munculnya
banyak tema/genre baru sehingga khazanah keilmuaannya menjadi beragam, terutama
tema-tema lama yang meluas seperti tema ghazal (puisi cinta) yang di
tambahi dengan nuansa cumbu rayu, hanin (kerinduan yang mendalam) dan fakher
(berbangga-bangga) serta mengusung tema-tema baru sebagai hasil transformasi
dengan keilmuan barat seperti tema nasionalisme, patriotisme, humanisme, dan
tema sosial kedalam sastra Arab. Karena jasanya dalam perkembangan sastra Arab itulah ia desebut
sebagai “Si Raja Pena”.[4]
Al Barudi menulis banyak sya’ir yang sangat indah dalam pengasingannya.
Ia menuangkan perasaannya, diantaranya
adalah kerinduan akan tanah air, keluarga dan sahabat, kepedihan, penderitaan,
patriotisme, peperangan, juga peristiwa-peristiwa lainnya yang ia
alami. Sya’ir-sya’ir al Barudi sangat terpengaruh dengan para penyair seperti
Hasan Bin Tsabit, Hatim Ath-Tha’i, Al-Mutanabbi, Abu Farasy, Asy-Syarif
Ar-Radli dan yang lainnya, namun pengaruh Abu Farasy Al-Hamdani dan
Al-Mutanabbi jauh lebih besar dibanding penyair lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar