subakir

subakir

Senin, 19 Desember 2011

Ilir-ilir dan Tamaknya Manusia

i
Belum tentu hujan sehari menghapus kemarau setahun. Belum tentu kering sehari digilas sejam tsunami. Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane, bermaulidlah.
* * *
lir-ilir, lir-ilir, tandure wus semilir
tak ijo royo royo dak sengguh temanten anyar
(lihatlah kini waktu menyemai telah datang,
begitu hijau segar laksana pengantin baru)
bocah angon, bocah angon, penekna blimbing kuwi
lunyu lunyu penekna, kanggo mbasuh dodod ira
(wahai anak gembala petiklah blimbing,
walau licin tolong panjatkan untuk bebersih baju kebesaranmu)
dan bersoraklah gembira ….)dodod ira, dodod ira, kumitir bedah ing pinggir
dondomana jumetana, kanggo seba mengko sore

(baju kebesaranmu telah terkoyak
jadi jahitlah kembali untuk bertahta sore hari ini)
mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
ya suraka…. surak iya
(selagi terang bulan, selagi luas tempatnya)

Ada beberapa pendapat siapa pencipta tembang Ilir-ilir di atas. Ada yang menyebutkan lirik itu dibuat oleh Sunan Ampel, namun ditolak oleh mereka yang berpendapat lirik itu ditulis oleh Sunan Giri. Pendapat ketiga menyatakan, Sunan Kalijaga menjadi penciptanya. Kesamaan antara tiga versi itu adalah para penciptanya muncul dari kalangan Wali Songo dan ketiga wali itu sungguh aktif dalam kreasi seni dan budaya.
Emha Ainun Nadjib mempopulerkan kembali tembang itu beberapa waktu lampau, dengan musik gamelan modern plus. Grup Kyai Kanjeng pimpinannya membawakan lagu itu dengan aransemen yang begitu lembut dan njawani sekali. Emha barangkali sangat terpengaruh lagu itu hingga menamakan komunitas kebudayaan dan pengajian yang dikelolanya dengan nama Padhang Mbulan, di tanah kelahirannya Jombang.
Pada bait akhir yaitu “ya suraka, surak iya” yang berarti bersoraklah gembira, Emha alias Cak Nun memanjatkan zikir istighfar atau memohon ampunan kepada pencipta. Istighfar itu menjadi intro atau pengantar dari kegembiraan yang berada diujung lagu itu, yaitu shalawat badar kepada kanjeng nabi Muhammad. Shalawat merupakan penghormatan dan sarana pengirim rasa cinta kepada kanjeng nabi.
Dalam lagu itu, Emha sekaligus menyatukan dua kebudayaan dari ranah berbeda, Jawa dan Arab. Riwayat menceritakan, shalawat badar diciptakan oleh kaum anshor, yaitu kaum muslim di tanah Medinah, ketika Muhammad baru datang ke kota itu dalam rangka hijrah.
Kini, shalawat seperti itu laik didengar dalam lantunan tradisi marhaban, baik ketika menyambut seorang bayi yang baru lahir maupun saat pengantin baru. Shalawat merupakan ungkapan kegembiraan dan rasa cinta seorang manusia kepada manusia. Di dalamnya teriring doa dan pengharapan serta rasa saling ketergantungan antar manusia tersebut.
Shalawat tak dikenal ketika Muhammad lahir dulu. Shalawat badar diciptakan oleh para pengikut Muhammad dan ini yang hebatnya, sesungguhnya Tuhan dan para malaikat pun bershawalat kepadanya. Sebuah pertanda bahwa sang Maha Segala-galanya pun menunjukkan penghormatan dan cinta kasihnya kepada ciptaannya sendiri, manusia.
Di tengah kekeringan dan lunturnya hubungan antar manusia, ilir-ilir dan shalawat terkesan aneh diperdengarkan saat ini. Gelombang nada yang menghidupkan kembali rasa cinta terhadap alam semesta menjadi asing ditelan pragmatisme dan eksploitasi kepada sesama manusia sendiri. Lagu, musik dan lirik yang diperdengarkan sekarang ini, lebih ditujukan kepada sebuah industri, penciptaan sebuah pasar dalam perilaku yang konsumtif. Ketamakan manusia sungguh menjadi panggung utama dalam era post modern ini.
Ilir-ilir
Waktu persemaian padi telah datang dan bocah pengembala bermain-bermain di seputaran petak sawah. Hijau bibit padi itu seperti laiknya segarnya temanten ayar alias pengantin baru.
Orang-orang di kota tak terlalu mengenal padi apalagi sewaktu menyemainya. Orang-orang di kota hanya mengetahui saat panen. Orang-orang di kota hanya tahu soal beras dan gabah. Panen mengisyarakatkan ukuran besar panen, hitungan keberhasilan, harga dan tentu saja keuntungan. Orang-orang di kota tahunya hanya makan dan bukannya menanam.
Eksploitasi manusia kepada alam tanpa memperdulikan keseimbangan sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Tenaga manusia diukur melalui efesiensi dan ekfektifitas. Tenaga manusia tidak diukur berdasarkan berapa banyak manusia lain yang harus ditanggung makannya, dibiayai pendidikannya dan kehausannya akan seni.
Almarhum Umar Kayam, Guru Besar Fakultas Sastra UGM, pernah menolak istilah “sumber daya manusia”. Bagi dirinya, istilah itu mengibaratkan manusia seperti mesin-mesin teknologi yang terus-menerus digunakan hingga rusak. Manusia dikuras jiwanya sehingga periode makannya yang tiga kali sehari itu laiknya sedang cas baterai saja. Manusia yang tergerus ini sudah pasti menciptakan manusia-manusia lain yang lebih buas dan lebih eksploitatif.
Film Amerika, Van Helsing, bercerita soal dracula alias manusia pemakan darah yang membutuhkan tenaga werewolf –manusia yang bisa berubah menjadi serigala akibat sinar bulan purnama- dan frankestein, manusia bikinan manusia. Tiga tipe manusia ini adalah karakteristik manusia pada umumnya yang bisa ditemui dengan mudahnya di zaman modern ini. Van Helsing adalah pemburu para werewolf namun berteman dengan franskestein yang hingga di akhir film memohon agar ia tetap hidup sebagai manusia. Dia ditugaskan untuk memberantas manusia jadi-jadian yang bersekutu dengan iblis yang berniat akan membasmi ras manusia dan menggantikannya dengan keturunan dracula. Film ini menjelaskan bahwa ancaman terhadap kemanusiaan justru timbul dari manusia itu sendiri.
Baju-baju manusia yaitu perilaku, akhlak, sikap dan pemikirannya telah sangat-sangat kotor. Salah satu penyebabnya adalah karakter homo economicus yaitu manusia sebagai makhluk ekonomi yang selalu mendasarkan perhitungannya pada faktor untung dan rugi. Ekonomi dikelola bukan untuk dibagi-bagikan tapi diakumulasikan. Meminjam bahasa Adam Smith, kapitalisasi modal. Tidak ada alasan paling shahih yang menjelaskan soal ditilepnya dana Rp 800 triliun lebih dalam kasus BLBI selain soal kapitalisme ini.
Marx menentang hal ini. Namun, Marx ternyata pun tak memiliki “rasa” kemanusiaan. Ia tak membuat manusia menjadi manusiawi karena ia tak mengakui adanya kepemilikan barang pribadi. Ia tak percaya institusi perkawinan adalah lembaga paling intim yang dimiliki manusia dalam mengukuhkan rasa cinta mereka kepada sesama manusia.
Baju manusia tak juga bersih. Ilir-ilir menyarankan untuk membersihkan baju yang kotor itu dengan belimbing. Tradisi menyebutkan, sebelum sabun ditemukan, cairan belimbing dijadikan sebagai semacam sabun pembersih. Tapi tentu saja, itu hanya perlambang saja.
Sedihnya, tembang Ilir-ilir yang diciptakan ratusan tahun lampau itu, tak cuma membilang pakaian yang kotor namun juga koyak.
Tamak
Manusia telah sungguh-sungguh buas tamaknya. Itu ketika setiap pengendara merasa memiliki seluruh jalan raya dan tak pernah punya keinginan untuk menunggu lampu hijau. Demi kepentingan, si manusia tadi tak perlu harus memikirkan bahwa jalan raya bukan cuma dilalui oleh seorang pengendara, sebuah sepeda motor ataupun mobil.
Manusia telah sungguh-sungguh buas tamaknya. Itu ketika diskusi, dialog, pertemanan dan persahabatan, sudah digantikan oleh hubungan atasan bawahan, wewenang jabatan, uang dan ilmu siapa yang paling banyak.
Pantaslah bila sorak gembira yang ditambahkan Emha dalam lagu Ilir-ilir adalah sebuah istighfar dan shalawat. Mohon ampunlah lebih dulu dan tunjukkan kasih sayang kepada manusia setelahnya, barulah kemudian manusia-manusia baru akan lahir. Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar