subakir

subakir

Sabtu, 17 Desember 2011

FIQIH


Difinisi Ilmu Fiqh
Secara bahasa, fikih berarti paham, dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Para ulama usul fikih mendefinisikan fikih sebagai mengetahui hukum-hukum Islam (syarak) yang bersifat amali (amalan) melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun para ulama fikih mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliah (yang sifatnya akan diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam.
Pengertian fikih secara bahasa, yang berarti paham, antara lain dapat dilihat pada surah Hud ayat 91 yang artinya: "Mereka berkata: Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu..." dan surah al-An'am ayat 65 yang artinya: "...Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami." Dalam pengertian istilah syar'i (yang berdasarkan syarak), kedua makna di atas dikandung oleh istilah tersebut.
OBJEK BAHASAN ILMU FIQH
Bidang bahasan ilmu fikih adalah setiap perbuatan Mukalaf (orang dewasa yang wajib menjalankan hukum agama), yang terhadap perbuatannya itu ditentukan hukum apa yang harus dikenakan. Misalnya, jualbeli yang dilakukannya, salat, puasa, dan pencurian yang dilakukannya. Jika jual-beli, salat, dan puasa yang dikerjakannya memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan Islam, maka pekerjaannya tersebut dikatakan sah. Sementara pencurian yang berlawanan dengan kebutuhan syarak dihukumkan haram dan wajib dikenakan hukuman pencurian. Dengan mengerjakan salat dan puasa berarti ia telah meme­nuhi kewajiban syarak. Dengan demikian, setiap perbuatan mukalaf yang merupakan objek fikih mempunyai nilai hukum.
Nilai dari tindakan hukum seorang mukalaf ter­sebut bisa bersifat wajib, sunah, boleh atau mubah, makruh, dan haram, yang semuanya ini dinamakan hukum taklifi (bersifat perintah, anjuran, dan larangan yang wajib bagi setiap mukalaf) dan bisa juga dengan nilai sah, batal, dan fasid (rusak), yang dikenal dengan nama hukum wad'i (khitab/perkataan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu [hukum]).
Dari definisi juga dapat disimpulkan bahwa objek bahasan fikih tersebut menyangkut hukum-hukum amaliah, tidak termasuk bidang akidah den­gan segala cabang-cabangnya karena hal tersebut termasuk bidang bahasan ilmu lain. Fikih dimaksudkan agar syarak tersebut dapat diterapkan ke­pada para mukalaf, baik terhadap perbuatan maupun terhadap perkataan mereka. Fikih merupakan rujukan bagi para kadi, mufti (pemberi fatwa), dan para mukalaf untuk mengetahui hukum-hukum syar'i dari perkataan dan perbuatan yang me­reka lakukan, sehingga para mukalaf mengetahui apa saja yang wajib baginya dan yang haram dikerjakannya.
PEMBAGIAN HUKUM FIQH
Para ulama telah membagi hukum-hukum fikih tersebut sebagai berikut. (1) Hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, seperti salat, puasa dan haji; dinamakan dengan  ibadah. (2) Hukum yang ber­kaitan dengan permasalahan keluarga, seperti nikah, talak, masalah keturunan, dan nafkah; dise­but ahwal asy-syakhsiyyah. (3) Hukum yang ber­kaitan dengan hubungan antara sesama manusia dalam rangka memenuhi keperluan masing-masing yang berkaitan dengan masalah harta dan hak-hak; disebut muamalah. (4) Hukum yang berkaitan dengan perbuatan atau tindak pidana; disebut jinayah atau 'uqubah. (5) Hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara sesama ma­nusia, dinamakan ahkam al-qada'. (6) Hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dan warganya; disebut al-ahkam as-sultaniyyah atau siyasah asy-syar'iyyah. (7) Hukum yang mengatur hubung­an antarnegara dalam keadaan perang dan damai; disebut siyar atau al-huquq ad-dawliyyah. (8) Hu­kum yang berkaitan dengan akhlak, baik dan buruk; disebut dengan adab.
Keseluruhan hukum yang disebutkan di atas tidak hanya mengandung makna keduniaan, tetapi juga mengandung makna keakhiratan. Artinya, nilai dari suatu hukum tidak hanya terkait dengan hukum di dunia ini, tetapi juga hukum ukhrawi, karena Islam tidak memisahkan antara dunia dan akhirat, walaupun keduanya bisa dibedakan.
SUMBER HUKUM FIQH
Sumber dari produk hukum Fiqh dibagi dalam dua bentuk, yaitu yang disepakati sebagai sumber dan yang diperbedakan. Sumber yang disepakati tersebut adalah Al-Qur'an dan hadis. Adapun ijmak dan kias dinyatakan sebagai sumber hukum oleh kebanyakan ulama. Sebagian ulama, betapa pun kecilnya jumlah mereka, ada yang memandang ijmak dan kias hanya sebagai alat penggali hukum, bukan sumber hukum. Dalil-dalil hukum Islam lainnya yang diperselisihkan ulama ialah istihsan, al-maslahah al-mursalah, 'urf (adat istiadat), sadd az-zari'ah (Usul Fikih), istishab, dan lain sebagainya.
Mustafa Zarqa (ahli usul dan fikih) mengatakan bahwa bagian yang disepakati tersebut dinamakan al-masadir al-asasiyyah (sumber pokok), sedangkan bagian yang diperselisihkan dinamakan al-ma­sadir at-taba'iyyah (sumber sekunder). Disebut sumber sekunder karena kias, ijmak, istihsan, dan sebagainya itu tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum, akan tetapi harus disandarkan pada Al-Qur'an dan hadis.
. Ilmu Ushul Fiqh, Syaikh Utsaimin, Media Hidayah

2. Al-Qawaidul Fiqhiyah, Abu Yusuf Ahmad Sabiq, Pustaka al-Furqon

3. Al-Wajiz (Panduan Lengkap Fiqh), Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi al-
Khalafi, Pustaka Assunnah

4. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Pustaka at-
Tazkia

5. Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,
Pustaka Ibnu Katsir

6. Ijabatus Sail (Syaikh Muqbil Menjawab Masalah Wanita), Syaikh
Muqbil bin Hadi, Pustaka an-Najiyah

7. Subulus Salam, Imam ash-Shan’ani, Darus Sunnah

8. Fatwa-Fatwa Terkini, Lajnah Daimah lil Ifta, Darul Haq

9. Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah Daimah lil Ifta, Darul Haq

10.Tamamul Minnah (Komentar atas Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq), Syaikh
Albani, Pustaka Sumayyah dan Pustaka adz-Dzahabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar