subakir

subakir

Sabtu, 28 Juli 2012

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya


Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.

Ada beberapa pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.
Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW: 


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي

Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah Thawaf.

Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:


أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان

Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah. 

Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b.

Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bid’ah". 

Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).

Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:


 فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam kitabFathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 raka’at:


وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ  وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ   وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .

“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360). 

Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11 raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah bukan masalah aqidah tidak perlu dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.



HM Cholil Nafis MA

Kamis, 26 Juli 2012

jangan sembarangan menafsirkan alqur'an


Kita sering menjumpai acara Dakwah di TV atau Radio, dimana pak Ustadznya..menjelaskan ayat-ayat Al Qur'an hanya dari pengertian dan pemahamannya bahkan ada yang menafsirkan Al Qur'an dari terjemahannya...masya Allah!, sungguh ironis, dan berbahaya bila Al Qur'an di tafsirkan sendiri menurut kemauannya sendiri..Berikut kami sampaikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk siapa saja -khususnya- yang sudah dipanggil "ustadz/ustadzah":

1. Tidak boleh menurut akal saja dalam menafsiri Al Qur'an.
Definisi Tafsir adalah:
التفسير: في الأصل: هو الكشف والإظهار، وفي الشرع: توضيح معنى الآية، وشأنها، وقصتها، والسبب الذي نزلت فيه، بلفظ يدل عليه دلالةً ظاهرة.

Tafsir artinya membuka, memperlihatkan. Sedang arti istilahnya adalah menjelaskan makna ayat, kandunganya, alur ceritanya, sebab diturunkannya, rahasia kalimat khas yang dipakainya yang sangat mempengaruhi isinya." At Ta’rifat bab Ta'
Rasulullah SAW mengingatkan kita :

حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ

Berkata Abu Imran, dari Jundub , ia berkata: Rasulullah SAW , bersabda: "Siapa berkata mengenai isi Kitabullah Azza wajalla (Al-Qur'an) dengan pendapatnya sendiri, meskipun benar, itu tetap salah." (Abu Dawud).

Teks hadits yan serupa :

من قال فى القرآن برأيه فقد أخطأ

(أبو داود ، والترمذى - غريب - والنسائى ، وابن جرير ، والبغوى ، وابن الأنبارى ، والطبرانى ، والبيهقى فى شعب الإيمان عن جندب) أخرجه أبو داود (3/320 ، رقم 3652) ، والترمذى (5/200 ، رقم 2952) ، والنسائى فى الكبرى (5/31 ، رقم 8086) ، والطبرانى (2/163 ، رقم 1672) . وأخرجه أيضًا : أبو يعلى (3/90 ، رقم 1520) ، وابن عدى (3/450 ، ترجمة 867 سهيل بن مهران) وقال : لا بتابع فى حديثه ومقدار ما يرويه من الحديث إفرادات ينفرد بها عن من يرويه عنه .

Siapa menerangkan Al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri, meskipun benar, itu tetap dianggap salah (HR. Tiga Imam, dari Jundub, termasuk hadits hasan)'" Jami’us Shaghir II/177

Penjelasan (Sarh) hadits


قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي سُهَيْلِ بْنِ أَبِي حَزْمٍ وَهَكَذَا رُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ أَنَّهُمْ شَدَّدُوا فِي هَذَا فِي أَنْ يُفَسَّرَ الْقُرْآنُ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَأَمَّا الَّذِي رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ وَقَتَادَةَ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُمْ فَسَّرُوا الْقُرْآنَ فَلَيْسَ الظَّنُّ بِهِمْ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي الْقُرْآنِ أَوْفَسَّرُوهُُ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَوْ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُمْ مَا يَدُلُّ عَلَى مَا قُلْنَا أَنَّهُمْ لَمْ يَقُولُوا مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ الْبَصْرِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ مَا فِي الْقُرْآنِ آيَةٌ إِلَّا وَقَدْ سَمِعْتُ فِيهَا شَيْئًا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ قَالَ مُجَاهِدٌ لَوْ كُنْتُ قَرَأْتُ قِرَاءَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ لَمْ أَحْتَجْ إِلَى أَنْ أَسْأَلَ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ كَثِيرٍ مِنْ الْقُرْآنِ مِمَّا سَأَلْتُ

Hadits dari Ibn Abbas r.a lebih jauh menerangkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبََ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

Dari Ibn Abbas رضي الله عنهما Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Takutlah (berhati-hatilah) mengenai hadits/perkataan ku (tidak lain) hendaknya (engkau sampaikan) dari apa yang engkau ketahui (mempunyai ilmu), maka, siapa yang berkata atas namaku (memalsu hadits) maka silahkan mengambil tempatnya di neraka, dan siapa yang berkata mengenai isi Al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri, maka silahkan mengambil tempatnya di neraka." (Sunan Tirmidzi). Berkata Abu Isa: ini hadits Shahih

2. Ilmu yang harus dikuasai oleh "Penafsir" Al Qur'an:
1.ilmu ilmu alat seperti nahwu,sharrof,balaghah.
2.ushulul qur'an.
3.ushulul figh.
4.qawaidul figh.
5.mushthalah hadits dll.

ILMU MUSHTHALAH HADITS


PENGANTAR ILMU MUSHTHALAH HADITS

I. Definisi Ilmu Mushtalah
عِلْمُ بِقَوَاعِدِ وَقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السنَدِ وَالمَتْن مِنْ حَيْثُ القَبُوْلُ أَوْ الرد

Adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan dari segi penerimaan dan penolakannya.

Sanad : silsilah (rantai) rijal (perawi-perawi) yang bersambung sampai ke matan.

Matan : perkataan yang datang setelah akhir sanad.

II. Urgensi Ilmu Musthalah

Sangat banyak manfaat ilmu ini yang terpenting diantaranya adalah :
1. Membedakan antara hadits shohih dan dhoif.

Pada abad pertama setelah wafatnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, sanad yang beredar adalah sanad yang shohih, sahabat meriwayatkan langsung dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan sahabat semuanya adil dan terpercaya. Namun setelah wafatnya Utsman bin Affan radhiyallohu anhu mulailah nampak bid’ah dan golongan sesat, serta mereka menambah, mengurangi dan memalsukan hadits nabi untuk memperkuat bid’ah mereka. Sebagaimana perkataan Muhammaf bin Sirrin : “Mereka (para sahabat) dulunya tidak pernah menanyakan tentang sanad, sampai terjadinya fitnah.

Maka ilmu ini dibuat untuk membedakan yang shohih dan yang dho’if.

2. Ilmu ini termasuk kunci untuk masuk dalam ilmu-ilmu syar’i yang lalu, seperti : Aqidah, Tafsir, Fiqh dan lain-lain.

Buku-buku maraji (rujukan) dari ilmu ini diriwayatkan dengan sanad.

3. Terhindar dari berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam

Karena meriwayatkan/menyebutkan hadits palsu dan lemah, sementara dia mengetahuinya atau tidak hati-hati dan teliti, itu artinya dia telah berdusta atas Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.

Imam Muslim meriwayatkan dalam muqoddimah shohihnya, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang meriwayatkan hadits sementara ia tahu bahwa (hadits) itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari pendusta.”

Dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda dalam hadits mutawatir : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”

4. Dapat membangkitkan rasa tenang dalam hati tentang janji Allah Azza wa Jalla untuk menjaga syari’at ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam: (QS. Al Hijr :9)

III. Sejarah Perkembangan Ilmu Musthalah.

Secara umum kita dapat membagi sejarah perkembangan ilmu musthalah menjadi empat marhalah (tahapan zaman) :

1. Marhalah pertama dimana sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam menghafal hadits-hadits beliau, safar untuk mengumpulkan dan mencocokkannya dan menulisnya pada shohifah (lembaran-lembaran), seperti : Shohifah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr, dan lain-lain.
2. Marhalah penulisan sunnah secara resmi ketika Umar bin Abdul Azis rahimahulloh memerintahkan untuk menyebarkan ilmu dan menulisnya, maka dikumpullah hadits-hadits Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan perkataan sahabat yang mana disela-selanya terdapat faidah-faidah dan isyarat-isyarat yang pada akhirnya Muhadditsin (ahli hadits) menjadikannya sebagai dasar ilmu musthalah, diantaranya Kitab Sunan Abi Daud, Musnad Ahmad, dan lain-lain.
3. Marhalah pemisahan faidah-faidah tersebut yang merupakan dasar ilmu musthalah dari kitab-kitab hadits, maka dikumpulkan ilmu-ilmu yang serupa pada kitab tersendiri, seperti Kitab Al ’Ilal oleh Ali bin Madini, Kitab Marasiil oleh Abu Daud, dan lain-lain.
4. Marhalah penggabungan setelah pemisahan. Ilmu-ilmu yang telah dipisahkan tadi seperti ‘Ilal dan Marasiil dan lain-lain digabung dalam satu kitab sebagai ilmu tersendiri yaitu Ilmu Musthalah Hadits. Maka orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abu Muhammad Hasan bin Abdur Rahman Al Romahurmuzi (wafat : 360H) dan menamakan kitabnya Al Muhaddits Al Fashil baina Ar Rowi wal Wa’iy Tapi kitab ini belum sempurna dan belum mencakup semua jenis istilah hadits. Kemudian datang setelahnya Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Hakim (wafat :405 H) dan mengarang kitab : Ma’rifah Ulum Al Hadits di dalamnya beliau menyebutkan 54 jenis istilah hadits dan kitab ini lebih unggul dari kitab yang pertama dari segi pengaturannya, kemudian setelahnya datang Abu Nu’aim Ahmad Al Ashbahani (wafat : 430 H) dan mengarang Mustahkraj atas kitabnya Al Hakim.

Kemudian datang setelahnya Al Muhaddits Abu Bakar Ahmad bin Ali yang terkenal dengan gelar Al Khatib Al Baghdadi (wafat : 463 H) dan mengarang kitab Ushulul Hadits dan diberi nama : Al Kifayah. Berkata Ibnu Nuqthoh : semua muhadditsin (ulama hadits) setelah Al Khatib merujuk pada buku-buku beliau. Kemudian datang setelahnya Al Qhadhi ‘Iyadh (wafat : 544 H) dan mengarang kitab Al Ilmaa’.

Setelah mereka datang Abu Hafs Umar bin Abdul Majid Al Mayanji (wafat : 580 H) dan mengarang kitab “Ma la Yasa’ul Muhaddits Jahluhu”. Setelah itu para ulama hadits terus mengarang kitab-kitab musthalah hadits dan semakin menyempurnakannya sampai datang Abu ‘Amr Ibn Shalah Utsman bin Abdur Rahman Ash Shaharzuri (wafat : 643).

Ketika mengajar di Madrasah Asyrafiyah di Damaskus dan mengarang kitab “Ulumul Hadits” yang kemudian masyhur dengan nama “Muqoddimah Ibnu Shalah”, kitab ini lebih sempurna dari kitab-kitab sebelumnya yang mana mencakup 65 jenis istilah hadits.

Diantara keistimewaan kitab ini, telah disusun dengan teliti dan bab-bab yang teratur serta mentarjih beberapa masalah istilah hadits. Dan orang-orang yang datang setelah beliau menjadikan bukunya sebagai rujukan dalam Ilmu Musthalah Hadits.

Dzikir Berjamaah dengan Suara Keras


assalamualaikum.wr.wb.
sekarang ini banyak sekali orang yang berusaha merusak ahlus sunnah waljama'ah dengan mencari cari dalil untuk membid'ahkan amaliyah para ahlis sunnah.
diantaranya dengan mengatakan melakukan tahlil,maulid nabi dan dzikir bersama dengan suara yang keras itu bid'ah.
para ikhwan jangan sampai termakan hasutan itu,karna itu hanyalah upaya upaya kolompok kelompok yang tidak suka pada ahlus sunnah waljama'ah.
Mengenai Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian. (HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:


يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ

خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه
Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:

أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

“Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)

أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari no.796.-Muslim no.919)
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:

كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)
Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.
sumber: sumber ilmu
http://mughits-sumberilmu.blogspot.com/2011/11/dzikir-berjamaah-dengan-suara-keras.html

di bawah ini juga ada hadits untuk tambahan dalil diatas saya ambil dari salah satu blog yang mengharamkan berdzikir berjama'ah dengan mengatakan kalau dalil ini tidak menunjukkan kepada dzikir akan tetapi menunjukkan pada ta'lim.
namun pada kenyataannya dalil dalil ini juga menunjukkan kepada dzikir bersama sama seperti dalil dalil diatas



إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فُضُلًا عَنْ كُتَّابِ النَّاسِ فَإِذَا وَجَدُوا أَقْوَامًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى بُغْيَتِكُمْ فَيَجِيئُونَ فَيَحُفُّونَ بِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ اللَّهُ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ تَرَكْتُمْ عِبَادِي يَصْنَعُونَ فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ يَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ وَيَذْكُرُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ فَهَلْ رَأَوْنِي فَيَقُولُونَ لَا قَالَ فَيَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ لَكَانُوا أَشَدَّ تَحْمِيدًا وَأَشَدَّ تَمْجِيدًا وَأَشَدَّ لَكَ ذِكْرًا قَالَ فَيَقُولُ وَأَيُّ شَيْءٍ يَطْلُبُونَ قَالَ فَيَقُولُونَ يَطْلُبُونَ الْجَنَّةَ قَالَ فَيَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا قَالَ فَيَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا لَكَانُوا أَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا قَالَ فَيَقُولُ فَمِنْ أَيِّ شَيْءٍ يَتَعَوَّذُونَ قَالُوا يَتَعَوَّذُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْهَا فَيَقُولُونَ لَا فَيَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا فَيَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا لَكَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا هَرَبًا وَأَشَدَّ مِنْهَا خَوْفًا وَأَشَدَّ مِنْهَا تَعَوُّذًا قَالَ فَيَقُولُ فَإِنِّي أُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَيَقُولُونَ إِنَّ فِيهِمْ فُلَانًا الْخَطَّاءَ لَمْ يُرِدْهُمْ إِنَّمَا جَاءَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى لَهُمْ جَلِيسٌ

“Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang berjalan di bumi selain sebagai pencatat amal manusia. Jika mereka (para malaikat) mendapati kaum yang sedang berdzikir (mengingat) Allah, maka mereka saling memanggil: “Ayo ke tujuan kalian (yaitu halaqah dzikir)!” Kemudian mereka mendatangi kaum tersebut dan meliputi mereka sampai ke langit dunia. Maka berkata: “Hamba-hamba-Ku kalian tinggalkan sedang melalukan apa?” Maka para malaikat menjawab: “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan memuji-Mu, membesarkan-Mu dan mengingat-Mu.” Maka Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Maka Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka melihat-Ku.” Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka melihat-Mu maka mereka akan bertambah pujiannya, bertambah pengagungannya, dan bertambah mengingat-Mu.” Allah bertanya: “Apa yang mereka cari (dengan halaqah dzikir itu)?” Para malaikat menjawab: “Mencari surga.” …….dst. (HR. At-Tirmidzi: 3524, beliau berkata: “Hadits hasan shahih.” Ahmad: 7418 (2/252) dari Abu Sa’id Al-Khudri t)

Sedangkan dalam Shahih Muslim dengan lafazh:

إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ..


“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki malaikat yang berjalan –selain tugas utama- mencari majelis-majelis dzikir….dst”. (HR. Muslim: 4854 dari Abu Hurairah t).
tanbih
(lafadh allah diatas setelah inna itu dibaca innallaha.bukan innallahi)
saudara saudaraku!bersatulah mewaspadai fitnah fitnah dari kelompok kelompok sesat yang selalu berusaha menghancurkan islm dari dalam.
semoga artikel ini bermanfaat amin.
wassalamualaikum.wr.wb.

Seputar Tawasul

       Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho

Tawasul adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah (perantara). Dalam arti lain tawasul merupakan sesuatu yang dijadikan perantara untuk mendekatkan diri (tawajjuh) kepada Allah swt guna mencapai sesuatu yang diarapkan dari-Nya.
Bagi warga NU berdoa dengan cara bertawasul (melalui perantara) bukan lagi hal yang dianggap aneh. Sementara kaum Muhammadiyah tidak sependapat dengan cara berdoa dengan bertawasul.
Berdoa dengan wasilah itu sendiri ada beberapa macam, antara lain bertawasul dengan amal sholih, dengan asma’ul husna, orang sholih yang masih hidup, dan bertawasul dengan Nabi dan wali yang sudah meninggal.
Bagi warga NU bertawasul dengan hal-hal di atas, termasuk dengan Nabi dan wali yang sudah meninggal hukumnya adalah sunnah. Sementara bagi Muhammadiyah, bertawasul yang dibolehkan hanyalah tawasul dengan dengan asma’ul husna, orang sholih yang masih hidup, sementara tawasul dengan orang yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan, bahasa ekstrimnya adalah haram, karena bisa mengarah kepada perbuatan syirik.
Muhammadiyah tidak secara khusus membahas masalah tawasul dalam HPT. Dalam HPT hanya terdapat tuntunan cara berdoa, dan tuntunan ziarah kubur yang bisa dijadikan rujukan, bagaimana Muhammadiyah menolak berdoa dengan menggunakan wasilah orang sholih yang sudah meninggal. Sementara itu, dalam sebuah situs resmi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, terdapat pula artikel tanya jawab masalah agama yang mengupas pendapat yang tidak membenarkan tawasul.
Lebih jauh tentang tawasul, marilah kita simak pendapat serta dasar-dasar mensunahkan dan melarang bertawasul dari NU dan Muhammadiyah. Mungkin lebih tepat jika mulai dari pendapat yang mensunnahkan, baru setelah itu menuju ke pendapat yang menolak dan melarang.
1.      Nahdhatul Ulama
KH. A. Nuril Huda, yang pernah menjabat sebagai Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Maidah: 35)
Dalam buku Antologi NU diterangkan bahwa, bertawasul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1.     Melalui tindakan (iman dan amal sholeh). Ulama madzhab Hambali menyebtukan bahwa bertawasul dengan iman, ketaatan dan amal saleh, merupakan salah satu bentuk bertawasul dengan shiratal mustaqim, yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt dengan apa yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw.
2.    Melalui doa. Antara lain dengan menyebut amal saleh yang pernah dilakukan. Tuuannya berwasilah dalam berdoa agar doa yang disampaiakan itu diterima oleh Allah swt. Juhur ulama menyepakati cara tersebut sebagaimana hadist diriwayatkan bukhari dan Muslim tentang tiga orang yangt erkurung di dalam goa. Untuk bisa keluar dari goa mereka berdoa sambil bertawasul dengan amal yang pernah diperbuatnya,
3.    Malaui dzat, sifat-sifat dan nama-nama Allah swt. (asmaul Husna). Sebagaimana firman Allah:
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.(Q.S. Al-A’raf: 180)
4.   Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di akhirat nanti. Ulama ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin akan mendapat syafaat dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan dosa besar.
5.        Melalui panggilan. Tawasul dalam bentuk ini dilakukan dengan cara memanggil orang yang paling dicintai. Menurut Sayid Muhammadi Malik al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh. Berdsarkan beberapa riwayat, antara lain: “Mujahid meriwayatkan bahwa dia melihat seseorang sakit kakinya di dekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata: “Sebutlah nama seseorang yang engkau cintai”. Orang sakit tersebut lantas menyebut nama Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya sembuh.
Dalam keterangan lain, disebutkan bahwa bertawasul juga bisa dilakukan dengan orang yang sudah meninggal.  Orang yang sudah meninggal yang dijadikan wasilah biasanya adalah para Nabi, wali, dan orang-orang yang dipercaya kesalehannya. Kaum NU sering melakukan tawasul dengan berziarah ke makam-makam para wali.
Dalil dibolehkannya bertawasul dengan orang yang sudah meninggal adalah firman Allah surat an-Nisa ayat 64:
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang..(QS.An-Nisa’ :64).
Sebagaimana tersebut dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin (PCNU Kota Malang), bahwa ayat di atas adalah bersifat umum ('amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzah.
Imam Ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul Ma'ad menyebutkan:
"Dari Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: "Seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do'a: Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohonkan ampun untuk orang tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”. (HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:
Para ulama; berkata, "Ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini. Dan semua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pergi sholat."
Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesunnguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda: “Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalahMaha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi: “Dengan hak para nabi sebelumku”.
Dalam hadis lain juga disebutkan:
Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata, “Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku. Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?” Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.” Kemudian Allah berfirman: “benar engkau hai Adam.Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karenaMuhammad maka Aku tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa Nabi Adam a.s adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan yang sering diajukan adalah, Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW.
Diketahui Sahabat Umar bin Khattab r.a memang pernah bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib ketika berdoa memohon hujan.
Dari Anas bin Malik r.a, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Umar Ibn Khaththab bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib kemudian berdoa, “Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan Nabi saw, maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengabn paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.”(HR. Bukhari)
Berkaitan dengan hadis di atas, para ulama’ telah menjelaskan: “Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
Bertawasul kepada orang yang sudah meninggal juga pernah dilakukan pada masa Sahabat. Dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan bahwa para sahabat selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra datang ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu datang kepada kholifah Umar dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”
Karena itu, demikian KH. A Nuril Huda, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya: “Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.”
KH A Nuril Huda, dalam tulisannya menguatkan pendapatnya tentang bolehnya bertawasul dengan orang yang sudah mati. Sebab ketika seseorang mati maka yang rusak dan hancur adalah badannya atau jasadnya saja, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Orang yang sudah mati ada di alam barzakh yang mana mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat sebuah hadist yang artinya:
Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at atau anak shaleh yang mendo’akan.” (HR Muslim)
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III, dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa’i juz VI. Hadits di atas menjadi dasar untuk menguatkan pendapat NU tentang bolehnya tawasul, sebab apabila manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo’akan orang yang di dunia tidak ada keterangan yang melarang.
Ketika melintasi kubur kita disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur, sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah. Menurut Nuri, ahli kubur juga akan menjawab salam yang kita ucapkan. Dengan demikian, lanjutnya, mendo’akan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendo’akan kepada yang berdo’a agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdo’a maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo’a di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.
Perlu diketahui juga, bahwa dalam NU ada tradisi yang disebut mahallul qiyam, yakni, saatnya berdiri ketika dibacakan shalawat:
يَا نَبِي سَلَامْ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلْ سَلَامْ عَلَيْكَ
Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu
Berkaitan dengan tawasul KH Musthofa Agil Siradj, pernah mengatakan bahwa dalam kalimat”Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu”; yang diucapkan, seakan-akan Nabi hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran tawashul kepada Nabi, atau memanjatkan doa dengan perantaraan Rasulullah saw.
Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap shalat, kita juga selalu mengucapkan:
اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
Salam kepada Engkau wahai Nabi
KH Musthofa Agil Siradj menjelaskan bahwa redaksi dari doa tersebut diharuskan memakai kata ganti ( كَ )atau kata ganti orang kedua atau dlamir mukhatab, yang berarti kamu atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan dlamir ghaib ( هُ ) atau dia, atau beliau. Kita menyebut Nabi dengan engkau. Ini artinya bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW hadir di hadapan kita.
Maka pada setiap doa, setelah kita berucap ”Alhamdulillah” segala puji bagi Allah, kita teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru setelah itu kita sampai pada inti dari doa kita. Ini artinya saat berdoa, saat menyembah Allah harus ada makhluk Allah bernama Muhammad SAW, demikian pendapat KH Musthofa Agil Siradj.
Adapun praktek pelaksanaan tawassul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
1.      Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka.
Contoh: “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk…”
2.      Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:  
“Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau……”
3.      Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dan karena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.
Tiga macam cara tawasul ini semua memiliki dasar hukum yang jelas.
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
“Dari autsman bin Hunaif ra.sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasululah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkan saya.” Beliau bersabda: “jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu.” Laki-laki itu berkata: “berdo’alah untuk saya, karena mataku benar-benar memberatkan  merepotkan)ku.” Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu,  shalat dua raka’at, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku.” Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat.”
Hadist tersebut, bagi kalanggan yang membolehkan tawasul, dianggap jelas bahwa di sana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW. Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul.
Dengankan dalil tawasul dengan cara kedua antara lain hadist dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dari pintu masjid dan langsung menghadap kepada Nabi SAW seraya berteriak: “Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami. Rasulullah SAW lalu mengangkat tangan dan berdo’a” Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. Anas berkata: “Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya. Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus. “Kemudian Beliau berdoa: “ Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita,” kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di dalam hadits tersebut ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya. Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah dengan kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa. kecuali ta’at kepada-Nya.
Sedangkan dalil dati cara tawasul yang ketiga antara lain hadis dari Rabi’ah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: “Mintalah apa saja yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada- Mu dapat bersamamu di surga.” Beliau bersabda: “Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” kemudian beliau bersabda: “Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Imam Muslim).
Jadi, menurut kalangan NU, tawasul dengan orang mati tidak jadi masalah, malah justru dianjurkan, lebih-lebih tawasul kepada Nabi Muhammad saw. NU berpendapat bahwa tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh. Karena memang, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
  1. Muhammadiyah
Sebagaimana telah penulis sebutkan di awal bab ini, bahwa dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat keterangan yang rinci mengenai masalah tawasul. Namun demikian, penulis mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak sependapat dengan berdoa dengan cara bertawasul (melalui wasilah atau perantara). Hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi di dalam warga Muhammadiyah, yang tidak memiliki tradisi bertawasul sebagaimana di NU, seperti pembacaan kitab barzanji, haul, sholawatan berjamaah, atau pun tradisi ziarah Walisanga. Lebih jelas lagi, ketika penulis mendapati sebuah artikel di situs Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang. Sebuah artikel yang menolak cara berdoa dengan bertawasul, khususnya tawasul kepada orang yang sudah meninggal.
Tuntunan cara berdoa, sebagaimana dimuat dalam kitab HPT Muhammadiyah hanya menyebutkan bahwa doa itu diawali dengan memuji Allah, shalawat Nabi lalu menyampaikan isi doa, kemudian diakhiri dengan membaca hamdalah. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu dawud,, at- Tirmidzy, al Hakim, Ibnu Hibban, dan al0 Baihaqy serta surat Yunus ayat 9-10. 
Nukilah hadis dan ayat tersebut di atas ialah sebagai berikut:
Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka Karena keimanannya,  di bawah mereka mengalir sungai- sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan. 10.  Do'a, mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin". (Q.S Yunus: 9-10)
Rasulullah saw bersabda, yanga artinya:           
Apabila berdoa salah seorang di antaramu, mulailah dengan memuji Allah, kemudian membaca shalawat Nabi saw kemudian barulah memohon apa yang dikehendaki (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, al Hakim, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqy)
Selain dari pada keterangan tentang cara berdoa, penulis juga mendapati penolakan Muhammadiyah terdapap cara doa dengan bertawasul. Dalam kitab HPT Muhammmadiyah menjelaskan masalah ziarah kubur, tarjih menyatakan: dan janganlah mengerjakan di situ sesuatu yang tiada diiszinkan oleh Allah  dan Rasul-Nya, seperti: meminta-minta pada mayat dan membuatnya perantaraan hubungan kepada Allah.”
Hal tersebut di dasarkan pada firman Allah surat Yunus ayat 106, sebagai berikut:
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim". (Q.S Yunus: 106)
Juga firman Allah surat az-zumar ayat tentang tindakan orang musyrik Mekah, ketika menyembah kepada berhala-berhala, mereka mengatakan bahwa berhala itu untuk mendekatkan kepada-Nya sedekat-dekatnya.
Sebagaimana firman Allah:
Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (Q.S. Az-zumar: 3)
Jelaslah sekarang, bahwa Muhammadiyah tidak menyepakati adanya tawasul kepada orang yang sudah meninggal (mayat). Salah satu dalil aqli yang digunakan adalah, bahwa orang yang sudah meninggal sudah tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak bisa mendengar.
Lalu bagaimana dengan tawassul kepada Nabi Saw?
Dalam kumpulan Fatwa dan Berbagai Artikel dari Syaikh Ibnu Baz, sebagaimana terdapat di situs Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, disebutkan bahwa bertawasul kepada Nabi saw bila hal itu dilakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai, taat terhadap perintah dan meninggalkan larangan-larangan beliau serta ikhlas semata karena Allah di dalam beribadah, maka inilah yang disyariatkan oleh Islam dan inilah dien Allah yang dengannya para Nabi diutus, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani dengan syariat) serta merupakan sarana dalam mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Sementara itu menjadikan Nabi sebagai perantara doa kita, yakni bertawassul dengan cara meminta kepada beliau, beristighatsah kepadanya, memohon pertolongan kepadanya untuk mengatasi musuh-musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, menurut Saikh Ibnu Baz adalah termasuk syirik yang paling besar.
Dari pendapat tersebut didapati pengertian bahwa berdoa dengan cara bertawasul kepada Nabi adalah haram. Demikian pula berdaa dengan cara bertawasul kepada selain Nabi Muhammad saw, seperti Nabi-Nabi yang lain, para wali, jin, malaikat.
Lebih jauh Saikh Ibnu Baz menegaskan bahwa disamping tawasul dengan cara di atas, juga tidak dibenarkan bertawasul dengan melalui jah (kedudukan) Nabi saw, hak atau sosok beliau, sebagai contoh ucapan seseorang, “Aku memohon kepadamu, Ya Allah, melaui nabi-Mu, atau melalui jah nabi-Mu, hak nabi-Mu, atau jah para nabi, atau hak para nabi, atau jah para wali dan orang-orang shalih”, dan semisalnya.
Dasar pengharaman itu ialah karena, menurutnya, Allah swt tidak pernah mensyariatkan hal itu sementara masalah ibadah bersifat tauqifiyah (bersumber kepada dalil-penj) sehingga tidak boleh melakukan salah satu darinya kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dari syariat yang suci ini.
Bertawasul itu boleh, demikian Saikh Ibnu Baz, bila kepada orang-orang yang masih hidup, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang dianggap baik, “Berdoalah kepada Allah untukku agar mrnyembuhkan penyakitku!”, atau “agar memulihkan penglihatanku’. “menganugrahiku keturunan”, dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma’ (Kesepakatan) Para ulama.
Rujukan tentang tawasul yang dibolehkan dan diharamkan yang digunakan oleh Saikh Ibnu Baz, antara lain kitab Syaikul Islam, Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah  yang berjudul “al-Qa’idah al-Jalilah Fi at-Tawassul wa al-wasilah”.