Macapat yaitu sastra berwujud puisi yang menggunakan bahasa Jawa baru dan terikat dengan aturan-aturan: 1) guru gatra, yaitu jumlah baris tiap satu bait, 2) guru lagu, yaitu jatuhnya huruf vokal di akhir baris, dan 3) guru wilangan, yaitu jumlah suku kata tiap baris. Saputra (2001: 2) menyatakan bahwa macapat adalah puisi yang terikat oleh aturan persajakan dan mengandung laras dan lagu. Macapat tidak hanya ditemukan di daerah Jawa Tengah, tetapi juga hidup dan berkembang di Jawa Timur, Jawa Barat, Lombok, dan Bali. Di Jawa tengah ada 3 daerah berkembangnya tembang macapat dengan cengkoknya masing-masing yaitu Surakarta, Banyumas, dan Semarang yang lazim disebut dengan Surakartan, Banyumasan, dan Semarangan. Tembang macapat terdiri dari:
Mijil
Sinom
Kinanthi
Asmaradana
Dhandhanggula
Pangkur
Durma
Pocung
Gambuh
Megatruh
Maskumambang
Tembang macapat mempunyai makna yang beragam. Paling tidak ada 7 alasan karya sastra disebut macapat, antara lain:
1. Maca papat-papat, yaitu membaca dalam tiap baris dengan dipenggal tiap 4 suku kata. Contoh: ngelmu iku (4), kalakone (4), kanthi laku (4), setya budya (4), pangekese (4), du rangkara (4).
2. Manca-pat, yaitu isi tembang menceritakan tentang kejadian pada keblat papat lima pancer.
3. Manca-pat dari panca-arpat, 5 sandhangan atau guru lagu, yaitu a (legena), i (wulu), u (suku), e (taling), dan o (taling tarung), --e (pepet).
4. Maca cepet, yaitu membaca dengan irama cepat, tidak banyak luk dan kembangan suara, isi tembang dapat terdengar dengan jelas.
5. Macakep, metatesis menjadi macapat yaitu membaca lirik.
6. Maca mat, yaitu membaca dengan cermat.
7. Maca-pat, yaitu membaca tembang yang ke-4 atau tembang cilik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar