Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah.
Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan.
Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan para tuan-tuan untuk memanfaatkannya. Walhasil pendewa-dewaan pada apa yang disebut: efisiensi.
Moderninasi semacam itu, mungkin amat berguna pada masyarakat tertentu, tatkala orang baru belajar untuk mepergunakan akal. Ketika orang berusaha memisahkan rasa dengan pikir. Waktu orang jatuh cinta untuk menguasai alam.
Ketika orang sedang memuja-muja logika/teknologi, sebagai instrumen yang paling menjamin sebagai kendaraan untuk memenangkan masa depan umat manusia. Ketika orang dengan membabi-buta mengaplikasi matematika dan mencoba menerapkannya pada segala sektor kehidupan, tak terkuali juga kesenian dan bahkan masalah-masalah yang sakral.
Maka terjadilah satu keseragaman berpikir, yang dikuntit oleh pemujaan kepada intelektualita, yang percaya bahwa semuanya sudah diberikan kerangka. Mereka yakin tidak ada fenomena yang tidak bisa dianalisa. Tidak ada sesuatu yang baru yang tidak dikenal.
Semua sudah terdeteksi. Semua sudah terangkum dalam sebuah peta agung yang bisa menerangkan segalanya. Semua bisa dilacak dengan struktur berpikir yang sudah ada.
Konsep kontemporer, menolak pembunuhan diri seperti itu. Manusia tidak perlu menciptakan kuburan-kuburan untuk manusia-manusia yang masih hidup. Tidak perlu mendirikan liang-liang mosolium yang tak lebih dari benteng kepala batu yang ngotot karena sudah malas untuk berpikir, mempertimbangkan sekali lagi segala keputusan untuk melihat kemungkinan baru.
Konsep dasar kontemporer adalah pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah — bukan saja kedaluwarsa, akan tetapi juga bisa — berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi dan dekadensi.
Seni kontemporer sebagai bagian dari pelafalan konsep kontemporer, selalu membebaskan diri dari kemacatan pada satu nilai yang semula disangka sebagai sumber segalanya, padahal segala sesuatu itu ternyata sudah bergeser dan menjungkir-balik segala-galanya.
Karena semuanya tak tercegah, tak dapat disekap dari hukum kehidupan, untuk selalu bergerak mengikuti nafas waktu, ruang, serta kembang-kempis alam pikiran yang tak henti-hentinya, yang tak takut oleh apa pun, untuk terus tumbuh. Pertumbuhan yang abadi. Ketika kehidupan diupayakan oleh manusia untuk hadir lebih baik, mendarat lebih lentur, lebih berarti dan lebih menghayat, segalanya juga ikut bergulir.
Usaha untuk mengaktualisasi diri, agar jadi sinkron dan menyuarakan zamannya, agar kontekstual dengan konteksnya, agar “menjati diri”, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Bisa mengejewantah dalam berbagai variasi bentuk.
Tergantung dari desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Tergantung dari bibit-bebet-bobot. Tergantung dari watak-perilaku-lingkungan-peradaban dan pendidikan yang bersangkutan. Tergantung dari derap dharma individu atau kelompok yang berkepentingan.
Bisa keras mengental bagaikan jotosan tangan yang terkepal. Bisa berupa pembrontakan spiritual dan konfrontasi argumen. Dapat juga lemah gemulai seperti tarian oleg tamulilingan atau gesekan rebab. Mungkin juga teror mental.
Berseloroh seperti badut-badut dalam adegan bebagrigan. Juga bukan tak mungkin ngepop seperti di dalam kesenian-kesenian kacangan atau jajanan yang dikemas khusus untuk para turis.
Pertunjukan Indonesia kontemporer, sebagai bagian dari seni Indonesia kontemporer, adalah anak dari konsep kontemporer. Segala tontonan yang mengandung arti, misi, gebrakan bahkan cukup percobaan, untuk membebaskan diri dari kungkungan waktu, tempat, situasi; gondelan nilai-nilai usang, mayat-mayat pengembaraan spiritual yang tidak relevan lagi — adalah pertunjukan kontemporer.
Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan cita-rasa pembebasan.
Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.
Dan — ini yang seringkali dilupakan — dapat juga merupakan pertunjukan seni tradisional yang baik karena kemasan-semangat-orientasinya, maupun saat dan tempat penampilannya, memungkinkan ia bersentuhan dengan manusia-manusia masa kini, sehingga menghadirkan pengalaman spiritual yang aktual.
Di masa yang akan datang, apa yang dipersoalkan sebagai perbedaan-perbedaan akan dibunuh atau terbunuh dalam interaksi dan adaptasi. Yang kemudian menonjol adalah nuansa-nuansa yang yang menggantikan istilah perbedaan-perbedaan.
Dan karena perbedaan berarti nuansa, maka perbedaan tidak lagi sesederhana hitam kontra putih, kiri versus kanan, buruk lawan baik, atau tradisi lawan kontemporer saja, tetapi akan hadir ribuan, jutaan atau tak terhingga nuansa yang memerlukan cara berpikir baru — baca kontemporer — untuk menguasainya. Nilai-nilai bertumpukan, tumpang-tindih, nyaris membingungkan, dalam satu susunan harmoni baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Akan diperlukan setiap saat cara memberikan kesaksian yang baru. Cara berekspresi baru untuk mengutarakan kebenaran-kebenaran yang terus tumbuh itu. Akan diperlukan bahasa yang baru, untuk memenangkan dan mengucapkan kenyataan-kenyataan yang terus bergerak itu. Apa pun bentuk, apa pun namanya, itu adalah bahasa kontemporer.
Desa-kala-patra adalah konsep yang mendasari selurup konsep kontemporer, termasuk konsep tontonan Indonesia kontemporer. Sesuatu yang pada dasarnya sudah terpraktekkan secara sehari-hari di Bali.
Desa-kala-patra adalah keterikatan pada desa-kala-patra yang aktual dan sekaligus pembebasan pada desa-kala-patra yang kedaluwarsa. Konsep dasar kontemporer, dengan sendirinya adalah juga konsep dasar pertunjukan Indonesia kontemporer.
Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap hidup menggebu-gebu.
Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa.
Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra, sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Bahkan seni pertunjukan yang langka digeber, seperti gambuh, seperti topeng pajegan, misalnya, dalam kesepiannya di dalam peti, tetap berinteraksi dengan zaman, melalui/karena orang-orang Bali sendiri selalu bersentuhan dengan nilai-nilai aktual dan universal lewat konsep desa-kala-patra.
Begitu dia dapat kesempatan tampil, kita tidak usah terkejut, karena ia langsung memuncratkan ciri-ciri kontemporer.
Teater tradisi Bali, tak perlu susah-susah mempermasalahkan apa konsep-konsep pertunjukan kontemporer, karena sudah melaksanakannya. Memang orang-orang dari belahan yang menyebut dirinya pulau kontemporer, umumnya justru mempermasalahkan hubungannya dengan tradisi, karena tidak melihat kaitan dirinya secara langsung dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional.
Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak menyangkut hal-hal yang konsepsual, tetapi sekedar kemasan, yang dapat langsung diselesaikan dengan mengubah cara melihat “perbedaan” sebagai “nuansa”. Karena tiadanya hubungan yang bersifat phisikal, tidak berarti, ada jurang pemisah.
Justru tidak adanya persamaan-persamaan di dalam bentuk-bentuk pengucapan, sering akan mempertemukan yang saling kontra itu secara spiritual, karena lahirnya kebutuhan untuk saling mengisi. Walhasil, ketiadaan hubungan, otomatis adalah juga hubungan. Itu cara berpikir konsep kontemporer.
Tak pernah sungguh-sungguh ada pertentangan antara hitam dan putih. Tak pernah benar-benar ada konfrontasi antara buruk dan baik. Tak pernah ada jurang antara kawan dan lawan.
Dan tak pernah ada masalah antara tradisi dan ekspresi kontemporer. Yang ada adalah kealpaan untuk mengakui keberadaan nuansa-nuansa di antara kedua kutub tersebut, yang tak terhingga jumlahnya. Keterbatasan untuk menangkap yang ada, dari sesuatu yang selalu dianggap tidak ada, karena adanya usaha untuk membuat penyederhanaan — hitam-putih — yang kadangkala sedemikian keji dan semana-menanya.
Kesalahkaprahan dalam membuat peta, yang kemudian membuat kita menjadi benar-benar buta dan tuli, adalah bencana tetapi sekaligus hikmah yang telah melahirkan konsep kontemporer. Sebuah usaha untuk menangkap dengan lebih jujur, bulat, lengkap dan tuntas apa saja. Alhasil sebuah upaya, tetapi sama sekali bukan tujuan. Karena dia juga akan terus bergerak, sesuai dengan desa-kala-patra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar