FIDYAH
Oleh
Syaikh Salim bin
'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali
Abdul Hamid
SHIFATI SHAUMIN
NABIYII SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN
1.
Bagi Siapa Fidyah Itu ?
Bagi
ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan
berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman
Allah.
"Artinya
: Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah,
dengan memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]
Sisi
pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah
tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak
diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan
keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma.
2.
Penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
Engkau
telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu
ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa
Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat
ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan
bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan
setiap hari seorang miskin.[Hadits
Riwayat Bukhari 8/135]
Oleh
karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat
atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui
bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan).
"Diberi
rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu
berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan
tidak ada qadha', kemudian dimansukh oleh ayat.
"Artinya
: Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]
Telah
shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil
dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi
makan setiap harinya seorang miskin. [Ibnu
Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanadnya Shahih]
Sebagian
orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada
kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka
menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur,
tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka
adanya saling pertentangan !
3.
Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah : 185) Mansukh
Yang
benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam
pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih Radhiyallahu a'alaihim
menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak
dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau
menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga
mereka menamakan istisna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh.
Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut.
Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut,
bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. [Lihat
I'lamul Muwaqi'in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al-Muwafaqat 3/118 karya As-Syatibi]
Sudah
diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab)
akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah
musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan
perngetian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i terdahulu dengan
dalil syar'i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.
4.
Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang
menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang
mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari
sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa
Radhiyallahu 'anhu : "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan
barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan
memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat :
"Artinya
: Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]
Mungkin
adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash
bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak
mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits
tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal
ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk
laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh),
hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa
makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka
bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?
Jika
engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh
bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu
berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur'an adapun hukum kedua
dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.
Yang
menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan
adanya naskh : "Telah
tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu
berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya,
untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya".
Dan
yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu :
"Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa
Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat.
"Artinya
: Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa ...." [Al-Baqarah : 183]
Kemudian
Allah menurunkan ayat.
"Artinya
: Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur'an ...." [Al-Baqarah : 185]
Allah
menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang
yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu
berpuasa, inilah keadaan keduanya ...." [Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya 507, Al-Baihaqi
dalam Sunannya 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanadnya Shahih]
Dua
hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa,
dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini
dikhususkan.
Oleh
karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya
mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin
Al-Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya
tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : itu mansukh, yakni ayat ini
dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat
berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul
mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.[Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 2/288]
5.
Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad ?
Mungkin
engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya
semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts
marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur'an dan membatasi yang
mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.
[a]
Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang
hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang beriman mencintai
Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap
shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun
nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur'an,
mengabarkan ayat Al-Qur'an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits
musnad, [Lihat Tadribur Rawi
1/192-193 karya Suyuhthi, 'Ulumul Hadits hal.24 karya Ibnu Shalah]
[b]
Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari
mana beliau mengambil hukum ini ? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari
sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar
yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.
Dari
Malik dari Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil
jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : "Berbuka dan gantinya
memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin" [Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari
jalan Imam Syafi'i, sanadnya Shahih]
Daruquthni
meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau
(Ibnu Umar) berkata : "Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan
tidak mengqadha". Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita
yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : "Berbukalah, dan
berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha"
sanadnya jayyid, dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah
istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu
Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.
[c]
Tidak ada Shahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma. [Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni 3/21]
6.
Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan
ini menjelaskan makna : "Allah
menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang
terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi "Kalau mengkhwatirkan diri dan
anaknya" dia bayar fidyah tidak mengqadha.
7.
Musafir Gugur Puasanya dan Wajib Mengqadha'
Barangsiapa
menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir
sehingga mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena Al-Qur'an
menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir.
"Artinya
: Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 184]
Dan
Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu
menjalankannya dalam firman-Nya.
"Artinya
: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah :
184]
Maka
jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang
tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.
Disalin
dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi
Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin
Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura,
penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar