Tawasul
adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah
(perantara). Dalam arti lain tawasul merupakan sesuatu yang dijadikan perantara
untuk mendekatkan diri (tawajjuh) kepada Allah swt guna mencapai sesuatu yang
diarapkan dari-Nya.
Bagi
warga NU berdoa dengan cara bertawasul (melalui perantara) bukan lagi hal yang
dianggap aneh. Sementara kaum Muhammadiyah tidak sependapat dengan cara berdoa
dengan bertawasul.
Berdoa
dengan wasilah itu sendiri ada beberapa macam, antara lain bertawasul dengan
amal sholih, dengan asma’ul husna,
orang sholih yang masih hidup, dan bertawasul dengan Nabi dan wali yang sudah
meninggal.
Muhammadiyah
tidak secara khusus membahas masalah tawasul dalam HPT. Dalam HPT hanya
terdapat tuntunan cara berdoa, dan tuntunan ziarah kubur yang bisa dijadikan
rujukan, bagaimana Muhammadiyah menolak berdoa dengan menggunakan wasilah orang
sholih yang sudah meninggal. Sementara itu, dalam sebuah situs resmi Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Bontang, terdapat pula artikel tanya jawab masalah agama
yang mengupas pendapat yang tidak membenarkan tawasul.
Lebih
jauh tentang tawasul, marilah kita simak pendapat serta dasar-dasar mensunahkan
dan melarang bertawasul dari NU dan Muhammadiyah. Mungkin lebih tepat jika
mulai dari pendapat yang mensunnahkan, baru setelah itu menuju ke pendapat yang
menolak dan melarang.
1. Nahdhatul Ulama
KH. A. Nuril Huda, yang pernah
menjabat sebagai Ketua
PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tawassul
adalah mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan
mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara.
Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman
:
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Maidah: 35)
Dalam
buku Antologi NU diterangkan bahwa, bertawasul dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:
1. Melalui
tindakan (iman dan amal sholeh). Ulama madzhab Hambali menyebtukan bahwa
bertawasul dengan iman, ketaatan dan amal saleh, merupakan salah satu bentuk
bertawasul dengan shiratal mustaqim, yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt
dengan apa yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw.
2. Melalui
doa. Antara lain dengan menyebut amal saleh yang pernah dilakukan. Tuuannya
berwasilah dalam berdoa agar doa yang disampaiakan itu diterima oleh Allah swt.
Juhur ulama menyepakati cara tersebut sebagaimana hadist diriwayatkan bukhari
dan Muslim tentang tiga orang yangt erkurung di dalam goa. Untuk bisa keluar
dari goa mereka berdoa sambil bertawasul dengan amal yang pernah diperbuatnya,
3. Malaui
dzat, sifat-sifat dan nama-nama Allah swt. (asmaul Husna). Sebagaimana firman
Allah:
Hanya milik
Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.(Q.S. Al-A’raf: 180)
4. Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di
akhirat nanti. Ulama ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin
akan mendapat syafaat dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan
dosa besar.
5.
Melalui panggilan. Tawasul dalam
bentuk ini dilakukan dengan cara memanggil orang yang paling dicintai. Menurut
Sayid Muhammadi Malik al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh.
Berdsarkan beberapa riwayat, antara lain: “Mujahid meriwayatkan bahwa dia
melihat seseorang sakit kakinya di dekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata: “Sebutlah
nama seseorang yang engkau cintai”. Orang sakit tersebut lantas menyebut nama
Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya sembuh.
Dalam
keterangan lain, disebutkan bahwa bertawasul juga bisa dilakukan dengan orang
yang sudah meninggal. Orang yang sudah
meninggal yang dijadikan wasilah
biasanya adalah para Nabi, wali, dan orang-orang yang dipercaya kesalehannya.
Kaum NU sering melakukan tawasul dengan berziarah ke makam-makam para wali.
Dalil
dibolehkannya bertawasul dengan orang yang sudah meninggal adalah firman Allah
surat an-Nisa ayat 64:
Dan kami
tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang..(QS.An-Nisa’ :64).
Sebagaimana
tersebut dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin (PCNU Kota Malang), bahwa ayat di
atas adalah bersifat umum ('amm)
mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan
berpindahnya ke alam barzah.
Imam
Ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul Ma'ad menyebutkan:
"Dari
Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: "Seseorang dari
rumahnya hendak sholat dan membaca do'a: Kecuali Allah menugaskan 70.000
malaikat agar memohonkan ampun untuk orang tersebut, dan Allah menatap orang
itu hingga selesai sholat”. (HR.
Ibnu Majjah).
Dari
Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a
Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:
Para
ulama; berkata, "Ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman
yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan
memerintahkan mebaca do'a ini. Dan semua orang salaf dan sekarang selalu
berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pergi sholat."
Abu
Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
Dari
Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi
Thalib ra meninggal, maka sesunnguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan
bersabda: “Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalahMaha
Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah
(jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan
nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”
Maka
hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi: “Dengan hak para nabi
sebelumku”.
Dalam
hadis lain juga disebutkan:
Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan
kesalahan, maka berkata, “Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq
Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku. Allah berfirman: “Bagaimana kamu
mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?” Nabi Adam berkata: “Hai
Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku
mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La
ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak
menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.” Kemudian
Allah berfirman: “benar engkau hai Adam.Muhammad adalah makhluk yang paing Aku
cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku
mengampunimu, dan andaikata tidak karenaMuhammad maka Aku tidak menciptakanmu.”
(HR.
al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Dari
hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa Nabi Adam a.s adalah orang yang
mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan
yang sering diajukan adalah, Jika
tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din
al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW.
Diketahui
Sahabat Umar bin Khattab r.a memang pernah bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil
Murhalib ketika berdoa memohon hujan.
Dari
Anas bin Malik r.a, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Umar Ibn
Khaththab bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib kemudian berdoa, “Ya
Allah, kami pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan Nabi saw, maka engkau
turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengabn paman Nabi kami, maka
turunkanlah hujan. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.”(HR. Bukhari)
Berkaitan
dengan hadis di atas, para ulama’ telah menjelaskan: “Adapun tawasul Umar bin
al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang
telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan
Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain
itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan
sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait
Rasulullah SAW.
Bertawasul
kepada orang yang sudah meninggal juga pernah dilakukan pada masa Sahabat. Dalam
Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan bahwa para sahabat selalu dan terbiasa
bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat. Seperti yang
diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya
orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena
kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra datang ke kuburan Rasulullah
SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka
telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan
berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan
kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu datang kepada
kholifah Umar dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang
dituruni hujan.”
Karena
itu, demikian KH. A Nuril Huda, berdo’a
dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak
disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan
orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT
karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya: “Tidak ada yang bisa mencegah
terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi
sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.”
KH A
Nuril Huda, dalam tulisannya menguatkan pendapatnya tentang bolehnya bertawasul
dengan orang yang sudah mati. Sebab ketika seseorang mati maka yang rusak dan
hancur adalah badannya atau jasadnya saja, sedang rohnya tetap hidup dan tidak
mati. Orang yang sudah mati ada di alam barzakh yang mana mereka telah putus
segala amal perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. Dalam kitab Shahih
Muslim, terdapat sebuah hadist yang artinya:
“Apabila
manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari
shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at atau anak shaleh yang mendo’akan.”
(HR Muslim)
Hadits
semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III, dalam Sunan Abu Dawud
juz III dan dalam Sunanu Nasa’i juz VI. Hadits di atas menjadi dasar untuk
menguatkan pendapat NU tentang bolehnya tawasul, sebab apabila manusia telah
meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk
orang lain, misalnya ahli kubur mendo’akan orang yang di dunia tidak ada keterangan
yang melarang.
Ketika
melintasi kubur kita disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur,
sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah. Menurut Nuri, ahli kubur juga
akan menjawab salam yang kita ucapkan. Dengan demikian, lanjutnya, mendo’akan
orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendo’akan kepada yang berdo’a
agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdo’a
maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi
yang berdo’a di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini
bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.
Perlu
diketahui juga, bahwa dalam NU ada tradisi yang disebut mahallul qiyam, yakni, saatnya berdiri ketika dibacakan shalawat:
يَا نَبِي سَلَامْ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلْ
سَلَامْ عَلَيْكَ
Wahai Nabi salam
kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu
Berkaitan dengan tawasul KH Musthofa Agil Siradj,
pernah mengatakan bahwa dalam
kalimat”Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu”; yang
diucapkan, seakan-akan Nabi hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran tawashul
kepada Nabi, atau memanjatkan doa dengan perantaraan Rasulullah saw.
Pada
saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap shalat, kita juga selalu mengucapkan:
اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
Salam kepada Engkau wahai Nabi
KH Musthofa Agil Siradj menjelaskan bahwa redaksi dari doa tersebut
diharuskan memakai kata ganti ( كَ
)atau kata ganti orang kedua atau dlamir mukhatab, yang berarti kamu
atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan dlamir ghaib ( هُ
) atau dia, atau beliau. Kita menyebut Nabi dengan engkau. Ini artinya bahwa
pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW hadir di hadapan kita.
Maka pada setiap doa, setelah kita berucap ”Alhamdulillah” segala
puji bagi Allah, kita teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru setelah
itu kita sampai pada inti dari doa kita. Ini artinya saat berdoa, saat
menyembah Allah harus ada makhluk Allah bernama Muhammad SAW, demikian pendapat
KH Musthofa Agil Siradj.
Adapun
praktek pelaksanaan tawassul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW,
para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
1. Memohon
(berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka.
Contoh: “Ya Allah, saya memohon
kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya
saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk…”
2. Meminta
kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar
terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
“Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada
Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau……”
3. Meminta
sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya
hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng
dijadikan wasilah dan karena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama
dengan cara kedua.
Tiga
macam cara tawasul ini semua memiliki
dasar hukum yang jelas.
Dalil
tawasul dengan cara yang pertama
adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
“Dari autsman bin Hunaif
ra.sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan
berkata: “Ya Rasululah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkan saya.” Beliau
bersabda: “jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan
kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu.” Laki-laki itu berkata:
“berdo’alah untuk saya, karena mataku benar-benar memberatkan merepotkan)ku.” Kemudian Nabi SAW
memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu,
shalat dua raka’at, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa
itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap
kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad,
sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku
ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam
urusanku.” Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW
kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat.”
Hadist
tersebut, bagi kalanggan yang membolehkan tawasul, dianggap jelas bahwa di sana
Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi
beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui
kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan
beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan
meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW. Ajaran tawasul dalam doa yang
disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu
saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau
sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan
hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul.
Dengankan dalil tawasul dengan cara kedua antara
lain hadist dari
Anas ra.ia berkata:
Ketika
Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk
dari pintu masjid dan langsung menghadap kepada Nabi SAW seraya berteriak: “Hai
Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka
berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami. Rasulullah SAW lalu mengangkat
tangan dan berdo’a” Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. Anas
berkata: “Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni
hujan begitu juga hari berikutnya. Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya
datang dan berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus.
“Kemudian Beliau berdoa: “ Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas
kita,” kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di
dalam hadits tersebut ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping
boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga
mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya
sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya. Disamping itu, karena manusia
ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah
yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap
kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah dengan
kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya
karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa.
kecuali ta’at kepada-Nya.
Sedangkan dalil dati cara tawasul yang ketiga antara
lain hadis dari Rabi’ah
bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: “Mintalah apa
saja yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada- Mu dapat
bersamamu di surga.” Beliau bersabda: “Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.”
kemudian beliau bersabda: “Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan
memperbanyak sujud.” (HR. Imam Muslim).
Jadi,
menurut kalangan NU, tawasul dengan orang mati tidak jadi masalah, malah justru
dianjurkan, lebih-lebih tawasul kepada Nabi Muhammad saw. NU berpendapat bahwa
tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul
dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul
dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka,
tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh. Karena
memang, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat,
pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan
pohon, batu, gunung dan lain-lain.
- Muhammadiyah
Sebagaimana telah penulis sebutkan di awal bab ini, bahwa
dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat keterangan yang rinci mengenai masalah
tawasul. Namun demikian, penulis mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak
sependapat dengan berdoa dengan cara bertawasul (melalui wasilah atau
perantara). Hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi di dalam warga
Muhammadiyah, yang tidak memiliki tradisi bertawasul sebagaimana di NU, seperti
pembacaan kitab barzanji, haul, sholawatan berjamaah,
atau pun tradisi ziarah Walisanga. Lebih jelas lagi, ketika penulis mendapati
sebuah artikel di situs Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang. Sebuah artikel
yang menolak cara berdoa dengan bertawasul, khususnya tawasul kepada orang yang
sudah meninggal.
Tuntunan cara berdoa, sebagaimana dimuat dalam kitab HPT
Muhammadiyah hanya menyebutkan bahwa doa itu diawali dengan memuji Allah,
shalawat Nabi lalu menyampaikan isi doa, kemudian diakhiri dengan membaca
hamdalah. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu dawud,, at- Tirmidzy, al
Hakim, Ibnu Hibban, dan al0 Baihaqy serta surat Yunus ayat 9-10.
Nukilah hadis dan ayat tersebut di atas ialah sebagai
berikut:
Allah berfirman:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi
petunjuk oleh Tuhan mereka Karena keimanannya,
di bawah mereka mengalir sungai- sungai di dalam syurga yang penuh
kenikmatan. 10. Do'a, mereka di dalamnya
ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah:
"Salam". dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil
'aalamin". (Q.S
Yunus: 9-10)
Rasulullah saw bersabda, yanga artinya:
Apabila berdoa salah seorang di
antaramu, mulailah dengan memuji Allah, kemudian membaca shalawat Nabi saw
kemudian barulah memohon apa yang dikehendaki (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, al Hakim,
Ibnu Hibban, dan al-Baihaqy)
Selain dari pada keterangan tentang cara berdoa, penulis
juga mendapati penolakan Muhammadiyah terdapap cara doa dengan bertawasul.
Dalam kitab HPT Muhammmadiyah menjelaskan masalah ziarah kubur, tarjih
menyatakan: dan janganlah mengerjakan di situ sesuatu yang tiada diiszinkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti:
meminta-minta pada mayat dan membuatnya perantaraan hubungan kepada Allah.”
Hal tersebut di dasarkan pada firman Allah surat Yunus ayat
106, sebagai berikut:
Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula)
memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang
demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang
zalim". (Q.S Yunus: 106)
Juga firman Allah surat az-zumar ayat tentang tindakan orang
musyrik Mekah, ketika menyembah kepada berhala-berhala, mereka mengatakan bahwa
berhala itu untuk mendekatkan kepada-Nya sedekat-dekatnya.
Sebagaimana firman Allah:
Ingatlah,
Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar. (Q.S. Az-zumar: 3)
Jelaslah sekarang, bahwa Muhammadiyah tidak menyepakati
adanya tawasul kepada orang yang sudah meninggal (mayat). Salah satu dalil aqli
yang digunakan adalah, bahwa orang yang sudah meninggal sudah tidak bisa berbuat
apa-apa, dan tidak bisa mendengar.
Lalu bagaimana dengan tawassul kepada Nabi Saw?
Dalam kumpulan Fatwa dan Berbagai Artikel dari Syaikh Ibnu
Baz, sebagaimana terdapat di situs Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang,
disebutkan bahwa bertawasul kepada Nabi saw bila hal itu dilakukan dengan cara
mengikuti beliau, mencintai, taat terhadap perintah dan meninggalkan
larangan-larangan beliau serta ikhlas semata karena Allah di dalam beribadah,
maka inilah yang disyariatkan oleh Islam dan inilah dien Allah yang dengannya
para Nabi diutus, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang
dibebani dengan syariat) serta merupakan sarana dalam mencapai kebahagian di
dunia dan akhirat.
Sementara itu menjadikan Nabi sebagai perantara doa kita,
yakni bertawassul dengan cara meminta kepada beliau, beristighatsah kepadanya,
memohon pertolongan kepadanya untuk mengatasi musuh-musuh dan memohon
kesembuhan kepadanya, menurut Saikh Ibnu Baz adalah termasuk syirik yang paling
besar.
Dari pendapat tersebut didapati pengertian bahwa berdoa
dengan cara bertawasul kepada Nabi adalah haram. Demikian pula berdaa dengan
cara bertawasul kepada selain Nabi Muhammad saw, seperti Nabi-Nabi yang lain,
para wali, jin, malaikat.
Lebih jauh Saikh Ibnu Baz menegaskan bahwa disamping tawasul
dengan cara di atas, juga tidak dibenarkan bertawasul dengan melalui jah
(kedudukan) Nabi saw, hak atau sosok beliau, sebagai contoh ucapan seseorang,
“Aku memohon kepadamu, Ya Allah, melaui nabi-Mu, atau melalui jah nabi-Mu, hak
nabi-Mu, atau jah para nabi, atau hak para nabi, atau jah para wali dan
orang-orang shalih”, dan semisalnya.
Dasar pengharaman itu ialah karena, menurutnya, Allah swt
tidak pernah mensyariatkan hal itu sementara masalah ibadah bersifat tauqifiyah
(bersumber kepada dalil-penj) sehingga tidak boleh melakukan salah satu darinya
kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dari syariat yang suci ini.
Bertawasul itu boleh, demikian Saikh Ibnu Baz, bila kepada
orang-orang yang masih hidup, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak
anda atau orang yang dianggap baik, “Berdoalah kepada Allah untukku agar
mrnyembuhkan penyakitku!”, atau “agar memulihkan penglihatanku’.
“menganugrahiku keturunan”, dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah
berdasarkan ijma’ (Kesepakatan) Para ulama.
Rujukan tentang tawasul yang dibolehkan dan diharamkan yang
digunakan oleh Saikh Ibnu Baz, antara lain kitab Syaikul Islam, Abu Al-Abbas
Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang
berjudul “al-Qa’idah al-Jalilah Fi at-Tawassul wa al-wasilah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar