I'TIKAF (BERDIAM
DIRI)
Oleh
Syaikh Salim bin
'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali
Abdul Hamid
SHIFATI SHAUMIN
NABIYII SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN
Al-Alamah
Ibnul Qayyim berkata : "Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah
(konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta'ala tergantung pada
kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya
dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta'ala secara menyeluruh, karena
kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada
Allah Ta'ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan
berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari
unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai
beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan
perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan
menghentikannya.
Rahmat
Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi
mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada
hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana
syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta'ala, dan
disyariatkannya (i'tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh)
hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia
maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut
dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan
disyariatkannya i'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah
berdiamnya hati kepada Allah Ta'ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat
dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan
diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan
penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan
betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah
keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan
mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang
mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat
dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia
berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari
kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut
kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya)
selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i'tikaf yang agung itu" [Zaadul Ma'ad 2/86-87]
2.
Makna I'tikaf
Yaitu
berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang
tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu'takif dan 'Akif. [Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi,
dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu Mandhur]
3.
Disyari'atkannya I'tikaf
Disunnahkan
pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan
Syawwal[1] Dan
Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya
: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah
(dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram'. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu".
Maka
ia (Umar Radhiyallahu 'anhu) pun beritikaf pada malam harinya. [Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656]
Yang
paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sering
beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun
yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh
hari. [Riwayat Bukhari 4/245]
Dan
yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan
Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. [Riwayat Bukhari 4/266 dan Muslim 1173
dari Aisyah]
4.
Syarat-Syarat I'tikaf
[a]
Tidak disyari'atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta'ala.
"Artinya
: Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu[2] sedangkan kamu
beritikaf di dalam masjid" [Al-Baqarah : 187]
[b]
Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi
telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam : "Tidak ada I'tikaf kecuali pada tiga masjid (saja). [3]
Dan
sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa
sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu 'anha yang telah disebutkan. [4]
5.
Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan
[a]
Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya
dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu 'anha
berkata.
"Dan
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memasukkan
kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di
kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya)
[dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid)
dan adalah Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat
(manusia) ketika sedang I'tikaf" [5]
[b]
Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di
masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
"Artinya
: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang
ringan" [Dikeluarkan
oleh Ahmad 5/364 dengan sanad yang shahih]
[c]
Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I'tikaf untuk mendirikan tenda (kemah)
kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri'tikaf, karena
Aisyah Radhiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau
wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri'tikaf[6] dan hal ini atas
perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Sebagaimana dalam Shahih Muslim 1173]
[d]
Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau
ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jika i'tikaf
dihamparkan untuk kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang
At-Taubah.[7]
6.
I'tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid
[a]
Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di
tempat i'tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu
masjid. Shafiyyah Radhiyallahu 'anha berkata.
"Artinya
: Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (tatkala beliau sedang) i'tikaf
[pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi
pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang
bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun
untuk kembali, [maka beliaupun berkata : jangan engkau tergesa-gesa
sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri besamaku untuk
mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid-
[sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu
Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya
melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka keduanyapun bergegas, kemudian
Nabi-pun bersabda : "Tenanglah[8], ini adalah Shafiyah
binti Huyaiy", kemudian keduanya berkata : 'Subhanahallah (Maha Suci
Allah) ya Rasullullah". Beliaupun bersabda : "Sesungguhnya syaitan
itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku
khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata
sesuatu"[9]
[b]
Seorang wanita boleh i'tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian.
berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan
beliau, kemudian isteri-isteri beliau i'tikaf setelah itu".[Telah
lewat takhrijnya]
Berkata
Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah, -pent)
:"Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya
wanita i'tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan)
adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil
yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah.
"Menolak
kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat"
Disalin
dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi
Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin
Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura,
penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Foote
Note.
- Riwayat Bukhari 4/226 dan Muslim 1173
- Yakni "Janganlah kami mejimai mereka" pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi
- Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan hal ini pada kitab yang berjudul Al-Inshaf fi Ahkamil I'tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid
- Dikeluarkan oleh Abdur Razak di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
- Hadits Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no. 167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami'ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu Asir
- Sebagaimana dalam Shahih Bukhari 4/226
- Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 642-zawaidnya dan Al-Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanadnya Hasan
- Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.
- Dikeluarkan oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yang terkahir ada pada Abu Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma'bud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar