Dzikir
merupakan ibadah yang banyak disinggung baik dalam al-Qur’an maupun
hadist. Dzikir merupakan perintah Allah yang (sebenarnya) mestilah
dilaksanakan setiap saat, di manapun dan kapan pun. Dzikir bisa
dilakukan dengan hati dan lisan, dan dengan sendiri maupun dalam sebuah
kelompok (majlis dzikir). Dzikir memiliki banyak keutamaan, salah
satunya adalah dapat membuat hati menjadi tenang.
Karena itulah maka dzikir mesti kerap dilakukan, agar hati senantiasa
tenang dan senantiasa mengingat Allah. Firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (Q.S. al-Ahzab: 41)
Rasulullah
telah memberikan contoh berkaitan dengan bacaan-bacaan dzikir atau doa.
Demikian pula, berkaitan dengan waktu-waktu di mana kita disunnahkan
membaca dzikir tertentu, seperti dzikir setelah shalat, dan lain
sebagainya.
Berkaitan
dengan keutamaan-keutamaan dzikir, NU dan Muhammadiyah tidaklah
berselisih pendapat. Perbedaan pendapat dalam masalah dzikir ada pada
tata cara pelaksanaannya.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa di Masjid-masjid di mana warga NU menjadi basisnya,
setiap kali ba’da shalat biasa dilaksanakan dzikir berjamaah, yang mana
dipimpin oleh Imam shalat. Dzikir tersebut kemudian dilanjutkan dengan
doa yang dipimpin Imam dan diamini oleh makmum. Bukan hanya dzikir
setelah shalat, NU juga memiliki tradisi melakukan puji-pujian
(shalawat, syair, dll) yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah. Di
kalangan warga NU juga biasa digelar acara istighasah,
mujahadah, atau dzikir akbar, yakni sebuah acara yang intinya adalah
doa dan dzikir bersama dalam sebuah majlis dzikir. Acara tersebut
biasanya dilakukan di lapangan, masjid, atau tempat-tempat lain dengan
menggunakan pengeras suara.
Sementara
itu di Masjid-masjid di mana warga Muhammadiyah menjadi basisnya, tak
ada dzikir berjamaah yang dipimpin oleh Imam setelah shalat.
Muhammadiyah tidak pula tertarik untuk menggelar dzikir atau doa
bersama, atau istighasah.
Lebih jelasnya tentang masalah ini, marilah kita simak dalil dan pendapat dari NU dan Muhammadiyah berikut.
1. Muhammadiyah
Dalam majalah Suara Muhammadiyah
pernah muncul sebuah pertanyaan, begini: “Dzikir dengan suara keras
selesai shalat wajib menurut Ibnu ‘Abbas biasa dilakukan pada masa
Rasulullah saw, apakah dapat diamalkan?”
Sebelum kami tuliskan jawaban dari Suara Muhammadiyah,
lebih dulu kami singgung bahwa dalam Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah tidak terdapat keterangan yang detail berkaitan dengan tata
cara berdzikir, lebih-lebih dzikir yang khusus dilaksanakan selesai
shalat.
Pada
pembahasan masalah “Amal Setelah Shalat Berjama’ah” dalam HPT terdapat
keterangan bahwa setelah shalat berjamaah Imam menghadap ke arah ma’mum
sisi kanan. Landasannya, salah satunya adalah hadis dari Samarah yang
artinya sebagai berikut:
“Adalah Nabi Saw, apabila telah selesai mengerjakan shalat beliah menghadap mukanya kepada kita.”
Selain
itu, Tarjih juga menyatakan agar setelah selesai shalat berjamaah,
supaya jamaah shalat duduk sebentar. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah
berikut:
“Sesungguhhnya
para Malaikat memintakan Rahmat untuk salah seorang dari kamu selama
masih duduk di tempat shalatnya dan sebelum berhadats; para malaikat
mendoakan: “Ya Allah, ampunilah dosanya dan kasihanilah ia.”
Selain
keterangan di atas, tidak kami temukan pembahasan yang rinci berkaitan
dengan masalah dzikir dalam HPT. Namun demikian, Muhammadiyah menegaskan
dan menjelaskan pendapat-pendapatnya bukan hanya lewat HPT melainkan
juta lewat media lain, baik elektronik maupun cetak.
Dalam menjawab pertanyaan di Majalah Suara Muhammadiyah
mengenai dzikir dengan suara keras setelah shalat, telah kutip
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berhubungan dengan dzikir dan doa,
meskipun tidak semuanya.
Memang,
terdapat sebuah hadis yang dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa
Rasulullah pernah melakukan dzikir dengan suara keras. Yaitu, hadist
yang artinya sebagai berikut:
“Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras".
Namun demikian hadis tersebut, dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan beberapa hadis lainnya.
Dalam surat Al-A’raf ayat 55 Allah berfirman:
Berdoalah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Al-A’raf: 55)
Surat Al-A’raf ayat 205:
Dan
sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. Al-A’raf: 205)
Dari
dua ayat tersebut, Muhammadiyah berpendapat bahwa Allah memerintahkan
kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berdzikir dengan merendahkan diri,
dalam arti lain tidak dengan mengeraskan suara.
Untuk menegaskan pendapat tersebut, tak lupa Muhammadiyah mendasarkannya pada hadist, yakni sebagai berikut:
“Diriwayatkan
dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu
perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan bertakbir.
Lalu Nabi saw bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab
sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula
jauh, tetapi kamu sedang berdoa kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan
Maha Dekat.” (HR. Muslim)
Demikian
pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa, menegaskan agar merendahkan
suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah Swt tidak tuli dan tidak
jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Hadis yang berasal dari perkataan Ibnu Abbas tersebut, selain dianggap
bertentangan, dalam Fatawa-Fatawa Al-Bani diterangkan, bahwa sebagain
Ulama menyimpulan lafal “Kunnaa” (kami dahulu), mengandung isyarat halus, yang artinya perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus.
Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda:
“Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.”
Al-Baghawi menambahkan hadis tersebut dengan sanad yang kuat.
"Sehingga mengganggu kaum mu'minin (yang sedang bermunajat)".
- Nahdhatul Ulama
Pembahasan masalah dzikir dan tata caranya di kalangan warga NU akan kami muat dalam tiga bagian. Petama, dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah; kedua, dzikir dengan suara keras setelah shalat; dan ketiga, dzikir berjamaah (semisal istighasah. dsb) yang diselenggarakan secara khusus.
- Dzikir sebelum Shalat Berjama’ah
Setelah
adzan, kita tentunya kerap mendengar lantunan puji-pujian dari pengeras
suara di masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa syair yang berisi nasehat
dan peringatan, shalawat (baik shalawat Nabi, Nariyah, dan lan
sebaginya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang lain. Dzikir dan syair
biasanya dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, diikuti oleh
hampir seluruh orang yang hadir untuk menunggu datangnya imam shalat.
Ketika imam telah datang dan iqamat dilantangkan, maka berhenti pula
syair dan dzikir tersebut.
Perlu
diketahui, bahwa syair atau bacaan-bacaan dzikir yang dilagukan dari
masjid-masjid sebelum shalat berjamaah, tidak dilaksanakan di semua
masjid. Hanya masjid-masjid tertentu saja, yang mana (biasanya)
masyarakat disekitarnya adalah kaum Nahdhiyin.
Bagaimanakah hukum melantunkan syair dan dzikir sebelum shalat berjamaah?
KH Muhyiddin Abdusshomad, telah menerangkan persoalan ini dalam situs resmi Nahdhatul Ulama. Menurutnya, membaca
dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah
perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari
beberapa sisi.
Pertama,
dari sisi dalil. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa dahulu pada masa
Rasulullah Saw. para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah
hadits:
Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata:
“Suatu
ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang
sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan
menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada
seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu
Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah
mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah
lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadis di atas, Syaikh Isma’il az-Zain dalam Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin
menjelaskan bahwa, melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat,
pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid adalah
sesuatu yang bukan dilarang oleh agama, dengan kata lain hukumnya adalah
mubah.
Kedua,
dilihat dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH Muhyiddin
Abdusshomad, selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga
merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di
tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada
Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Misal, lantuan dzikir istighfar berikut:
Astaghfirullah, Rabbal baraya, astaghfirullah minal khathoya.
Contoh lain, adalah syair karangan Sunan Bonang berikut:
Tombo
ati, iku ana limang perkoro, ingkan ndingin, maca qur’an lan maknane,
kaping pindo, shalat wengi lakonono, kaping telu dzikir wengi ingkang
suwe, kaping papat, wetengi ngiro luwih ono, kaping limo, wong kang
shaleh kumpulono. (obat hati itu ada lima macam, pertama membaca
al-Qur’an berserta maknanya, kedua shalat malam lakukanlah, ketiga,
dzikir malam jalankanlah, keempat, perutmu laparkanlah (puasa), kelima,
berkumpullah dengan orang shaleh.
Dan
masih banyak lagi syair-syair lain yang dianggap sangat bermanfaat
karena memberikan nasehat dan menedekatkan orang yang membacanya kepada
Allah Swt.
Ketiga,
dari aspek psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, lantunan
syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan
suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat
tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
Selain
ketiga manfaat tersebut, syair dan dzikir yang dilantunkan sebelum
shalat berjamaah bisa mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat
jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal
yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.
Berdasarkan
dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap melanggengkan tradisi
melantunkan dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di masjid dan
mushala. Namun begitu, perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini
tergantung pula pada situai dan kondisi, tidak dibenarkan apabila sampai
mengganggu orang yang shalat dan membuat bising masyarakat di sekitar
masjid atau mushala.
- Dzikir Sesudah Shalat
Kita
tahu, bahwa salah satu tujuan dzikir adalah untuk meraih ketenangan,
agar kita bisa lebih dekat dengan Allah Swt. Untuk mencapai tujuan itu,
tentu dibutuhkan dzikir yang tidak hanya sekedar ucapan lisan, melainkan
membutuhkan kesungguhan hati, dalam kata lain, dzikir mestilah
dilakukan dengan khusuk.
KH.
Cholil Nafis, seorang ulama NU menulis, dzikir harus dilaksanakan
dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh
khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan
perjuangan yang tidak ringan. Cara untuk khusuk, menurutnya,
berbeda-beda setiap orang. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau
berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan
lebih khusyu' dan khidmat jika berdzikir dengan cara berdiri atau
berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara
dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi
dan ke-khusyu'-an.
Satu
sisi, memang terdapat dalil-dalil yang menyuruh ummat muslim untuk
berdzikir dengan suara yang lemah lembut, dan pada sisi yang lain
terdapat pula dalil yang membolehkan untuk berdzikir dengan suara keras.
NU menganggap dalil-dalil tersebut, baik antara al-Qur’an dengan
hadist, maupun hadist dengan hadist, tidaklah saling bertentangan,
karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan dzikir dengan suara keras setelah shalat antara lain hadist riwayat Ibnu Abbas:
“Aku
mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras)
apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan
masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu
Adra’ juga pernah berkata: "Pernah saya berjalan bersama Rasulullah SAW
lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan
suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia
(melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."
Sementara dalil yang menjelaskan
keutamaan berdzikir dengan secara pelan adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Sa'd bin Malik bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Lalu,
bagaimana pendapat Ulama NU dalam mengkompromikan dua hadits yang
seakan-akan kontradiktif itu? Cholil Nafis, mengutip penjelasan Imam
Nawawi sebagai berikut:
“Imam Nawawi menkompromikan (al-jam’u wat taufiq)
antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist
yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan
dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu
orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama
jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu
bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati
orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir,
mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta
menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III).
Pendapat Imam Nawawi, sebagai juru bicara dari Madzhab Syafi'i, sejalan dengan keterangan yang ditulis Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm, bahwasanya tujuan Nabi Saw. mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.
Masalah
dzikir dengan suara keras juga disinggung dalam Fathul Mu’in karangan
Imam Zainuddin al-Malibari, kitab yang sering dijadikan rujukan kaum
Nahdhiyin. Dalam kitab tersebut didapat keterangan bahwa berdzikir
dengan suara pelan setelah shalat adalah sunnah, baik bagi orang yang
shalat sendirian, maupun berjamaah, imam yang tidak bermaksud
mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya
supaya diamini mereka.
Dari
keterangan Zainuddin al-Malibari tersebut maka didapati hukum berdzikir
dengan suara keras setelah shalat adalah boleh. Jelaslah sekarang,
bahwa NU tidak mewajibkan atau mengharuskan warganya untuk berdzikir
dengan suara keras, melainkan tergantung kepada situasi dan kondisi;
jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah
ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan
tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa
keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir, demikian menurut
Chalil Nafis.
c. Dzikir Berjamaah
Salah
satu amaliyah warga NU yang terkenal dan mengundang kontroversi dari
Ormas lain adalah Istighasah. Arti istighasah adalah memohon pertolongan
kepada Allah Swt. Pelaksanaan istighasah diisi dengan doa-doa dan
dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara berjamaah dan dipimpin oleh
seorang Imam istighasah.
Disebutkan
dalam buku Antologi NU, bahwa dalam skala besar, PBNU telah beberapa
kali menggelas itighasah Nasional, yang dihadiri lebih dari satu juga
kaum Nahdziyin. Pernah diadakan di lapangan Parkir Monas Jakarta, Gelora
10 November dan Lapangan Makodam V brawijaya Surabaya. Di semua tingkat
kepengurusan NU, selalu akrab dengan budaya istighasah tersebut, kadang
menggunakan istilah istighasah hubro, istighasah nasional, dan lain
sebagainya.
Dzikir
yang dibaca dalam istighasah dikalangan NU memakai dzikir yang
dibakukan oleh Jami’iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah an-Nahdhiyah,
ijazah dari Sayikhana Chili Bangkalan.
Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir berjamaah antara lain al-Qur’an surat al-Imran ayat 191:
(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka. (Q.S. al-Imran: 191)
Ada
sementara kalangan yang tidak menyepakati digunakannya dalil tersebut
sebagai pembolehan dzikir berjamaah. Mereka mengutip pendapat dari
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis dalam “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal Ibtida’. Menurutnya, sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas (yakni kata “yadzkuruna”)
adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua
umat Islam untuk berdzikir kepada Allah Swt. tanpa kecuali, bukan
anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah. Selain itu jika sighat jama’
dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir
secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam
memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan
dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim),
lalu bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri,
duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara
seperti ini?
Selain
pernyataan ketidaksepakatan tersebut, yang dipermasalahkan juga oleh
mereka yang tidak sependapat adalah bahwa ayat tersebut turun kepada
Rasulullah Saw. dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah
Rasulullah Saw. dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai
perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dalam buku Risalah Amaliah NU, PCNU Kota Malang. Di sana dibeberkan dalil-dalil lain yang membolehkan dzikir berjamaah, termasuk juga istighasah.
Bahwa
Rasulullah dan para para sahabat pernah melantunkan syair
(Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasul Saw. dan
sahabat r.a bersenandung bersama sama dengan ucapan: "Haamiiim laa yunsharuun..".
Cerita
ini termuat dalam buku sejarah tertua, yakni Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab
Ghazwat Khandaq. Kitab ini dikarang oleh seorang Tabi’in sehingga
datannya dianggap lebih valid.
Pada bab Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif,
sebagaimana tertulis dalam Risalah Amaliyah NU, para sahabat juga
bersenandung saat membangun membangun Masjidirrasul saw dengan
melantunkan syair:
"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah." Senandung para sahabat kemudian diikuti oleh Rasulullah dengan semangat.
Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim),
mengandung tafsir, bahwa ayat tersebut diatas lebih dititikberatkan
kepada bagaimana tata cara orang shalat, yaitu bisa dilakukan dengan
berdiri, duduk, maupun tiduran. Namun secara umum dapat juga diartikan
dzikir secara lafdziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan
segala tingkah sesuai kemampuannya. Dalam majlis dzikir, sebagian orang
mungkin duduk, sebagian lagi berdiri dan mungkin ada yang tiduran
tergantung kondisi masing-masing individu.
Selain
dalil di atas, juga ada hadis Qudsy yang menyatakan anjuran untuk
berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran (pelan dan terang), di dalam
hati, dalam sendiri maupun berjamaah.
"Bila
ia (hambaku) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam
Diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Aku pun
menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan
lebih mulia". (HR Muslim).
Selain itu, Sabda Rasulullah Saw juga telah bersabda:
“Sungguh
Allah memiliki malaikat yang beredar di muka bumi mengikuti dan
menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka
berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit
dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali
ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu :
“Darimana kalian?” Mereka menjawab: ‘Kami datang dari hamba hamba Mu,
mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada
Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu, Maka Allah bertanya: “Apa
yg mereka minta?”, Malaikat berkata: ‘Mereka meminta sorga, Allah
berkata: ‘Apakah mereka telah melihat sorgaku?, Malaikat menjawab:
‘Tidak.’ Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya”. Malaikat
berkata: ‘Mereka meminta perlindungan-Mu, Allah berkata: “mereka meminta
perlindungan dari apa?”, Malaikat berkata: “Dari Api neraka”, Allah
berkata: “apakah mereka telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab,
‘tidak.’ Allah berkata: ‘Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku.
Malaikat berkata: ‘Mereka beristighfar pada Mu.’ Allah berkata: “Sudah
kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi
mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya.’ Malaikat
berkata: “Wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia
hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: ‘Baginya
pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg
dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka.”
Dzikir
bersama, atau istighasah selain merupakan doa bersama dalam rangka
memohon pertolongan menghadapi permasalahan yang besar dan jalan yang
ditempuh semakin sulit, juga merupakan tandingan untuk panggung
panggung maksiat yang dari hari ke hari kian marak saja, menyeret
pemuda dan pemudi untuk larut, sehingga sangat mungkin akan melupakan
Allah. NU menganggap istighasah atau dzikir berjamaah merupakan suatu
perbuatan yang mulia karena berusaha menggemakan nama Allah.
oya, sekarang anda bisa baca ebook lengkap soal al-ikhitlaf:
silahkan download, lewat sini:
http://www.ziddu.com/download/18227787/Fiqh_Al_Ikhtilaf_NU_Muhammadiyah.pdf.html
silahkan download, lewat sini:
http://www.ziddu.com/download/18227787/Fiqh_Al_Ikhtilaf_NU_Muhammadiyah.pdf.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar