يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
35. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-ma’idah
:35)
Tanbihun
– Tawassul adalah berdoa dengan perantara, sedari dulu ulama dipenjuru dunia
memperbolehkan dan mengamalkan tawassul baik dengan amal sholih,
ataupun dengan pribadi dan kedudukan nabi Muhammad SAW serta para auliya’.
Hanya saja semenjak datangnya gelombang pembaharuan yang dihembuskan oleh
Muhammad Bin Abdul wahhab, maka terjadi goncangan ditubuh umat Islam. Mereka
yang mengamalkan tawassul kepada Nabi dan para wali dicap sebagai
biang Bid’ah dan Syirik. Bukan cuma itu, sejumlah auliya’ Alloh dihujat
habis-habisan mulai dari Syaikh Ahmad Badawi sampai para wali
songo di tanah jawa. ( Ada CD rekaman ceramah ustadz mereka pada penulis
).
Sebenarnya Allah Swt memerintahkan kepada kita
untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah. ( Lihat QS. Al Maidah : 35
di atas ) .Rasulullah saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau
sendiri bersabda : “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab
dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat
yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan
anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah
kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari
hadits no.589 dan hadits no.4442)
Hadits ini jelas bahwa Rasul menunjukkan bahwa
beliau tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan
hak tawassul untuk beliau sudah dijanjikan syafaat beliau dan hak untuk
menjadi perantara ini tidak dibatasi oleh keadaan beliau, baik ketika masih
hidup ataupun di saat wafatnya.
Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya
doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang telah aku lakukan saat itu
kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari
dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam
goa dan masing masing bertawassul pada amal shalihnya.
Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang
lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa
Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai
Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan
Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka
kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas
bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau
sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dg derasnya.
(Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507).
Riwayat diatas
menunjukkan bahwa :
- Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
- Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.
- Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.
- Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan sahabatnya yang melihat Rasul saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra : “dengan pamannya yang melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat Nabi saw) jelaslah bahwa melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan tersendiri disisi Umar bin Khattab ra hingga beliau menyebutnya dalam doanya, maka melihat Rasul saw adalah kemuliaan yg ditawassuli Umar ra dan dikabulkan Allah.
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana
Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk
kesembuhan, sebagaimana doa beliau ketika ada yang sakit : “Dengan
Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah
yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (shahih Bukhari hadits
no.5413, dan Shahih Muslim hadits no.2194), ucapan beliau: “demi air liur
sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur
mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt
tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah
pula tentunya, juga beliau bertawassul dengan tanah, menunjukkan
diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya
mengandung kemuliaan Allah swt. Dalam riwayat lain diterangkan
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ
أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي
قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ
قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ
اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ
Dari ustman bin hanif sesungguhnya
seseorang yang sakit mata datang kepada nabi saw lalu berkata, berdoalah kepada
Allah agar Dia menyembuhkanku, Nabi menjawab, jika kamu mau, maka aku akan
berdoa (untukmu) dan jika kamu ingin, maka bersabarlah dan itu lebih baik
bagimu, lalu dia berkata, berdoalah. Ustman Bin Hanif berkata, lalu Nabi
memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik lalu berdoa dengan doa ini, ya
Allah sesungguhnya hamba mohon kepadaMu dan hamba menghadap kepadaMu dengan
NabiMu Muhammad Nabi pembawa rahmat, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku
dengan engkau ya Rasuulullah supaya hajatku ini dikabulkan, ya Alloh jadikanlah
ia pemberi syafaat hajatku untukku.
(Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak
ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dg syarat
shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadist ini dishahihkan oleh Al hakim, Ibnu
Khuzaimah dan disetujui oleh adz Dzahabi.
Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw
mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang
mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat doa ini, tapi Rasul
saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw
mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya.
Lalu muncullah pendapat saudara saudara kita, bahwa
tawassul hanya boleh pada Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena
Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana
riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air
liur.
Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya
boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut :
“telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang
yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka
berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di
masjid, lalu berdoalah dengan doa ini : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu,
dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang,
Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada
Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia
memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti
selepas kau lakukan itu maka ikutlah dengan ku kesuatu tempat.
Maka orang itupun melakukannya lalu utsman bin
hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu
orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu
bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman
bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan
berkata : “kau bicara apa pada Utsman bin Affan sampai ia segera mengabulkan
hajatku ya..??”, maka berkata Utsman bin Hanif ra : “aku tak bicara apa-apa
pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan
doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majma’ zawaid Juz 2 hal 279), Imam
Thabrani meriwayatkannya dalam Al Kabir yang dalam sanadnya terdapat Rauh bin
Sholah, Ibnu Hibban dan Al Hakim menstiqahkannya ( Syarah Ibnu Majjah 1/99 ).
Ada juga sebuah hadist dari Malik ad Daar
diriwayatkan dalam kitab Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/31 Kitab Fadhail bab
Fadhail Umar bin Khattab RA hadis no 32665 dan juga terdapat dalam Musnad Umar
Bin Khottob Juz 25/388.
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ , قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَقِيمُونَ وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari
‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang
makanan pada pemerintahan Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau
panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi
SAW dan berkata “Ya Rasulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka
telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan
dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya
beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya
“bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui
Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku
aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu
melakukannya”.
Hadis Malik Ad Daar ini juga diriwayatkan oleh Al
Hafiz Abu Bakar Baihaqi dalam Dalail An Nubuwah 7/47 hadis no 2974 dan Al
Khalili dalam kitabnya Al Irsyad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313. Keduanya
dengan sanad masing-masing yang bermuara pada ‘Amasy dari Abu Shalih dari Malik
Ad Daar.
Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu hajjar Al
Asqolaniy dalam fathul Bari 3/441 Bab dan juga oleh Ibnu Katsir dalam An
Nihayahnya 7/106. Meskipun Syaikh al Albani mendhoifkannya dengan alasan yang
dibuat-buatnya ( Suatu saat nanti dengan izin Allah penulis akan menyangkal
pernyataan Al Albani dalam At Tawassul 1/120 ). Dengan demikian berdasarkan
hadits tersebut, tawassul dengan Nabi Muhammad baik ketika beliau masih hidup
maupun setelah wafatnya adalah boleh dan bukan perbuatan syirik.
Tawassul merupakan salah satu amalan
yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tak pula oleh ijma
para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh
para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya,
Rasul saw mengajarkannya, sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya.
Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa
perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan
mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul
pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada
kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yg tergolong benda) dihadapan
Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan
orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang
membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang
mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena
menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah
semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena
Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat
dihadapan Allah. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup
dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang
hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun
bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt. (Lihat
perkataan asy Syaukaniy yang dikutip oleh Abdurrahman Al Mubarokfury dalam
Tuhfatul Ahwadzi 8/476 )
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan
Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup
ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan
Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi
walau mereka telah wafat.
Imam Asy Syaukaniy dalam Kitab Faidhul Qodir
2/170 berkata :
قال السبكي ويحسن التوسل والاستعانة والتشفع بالنبي إلى ربه ولم ينكر ذلك أحد من السلف ولا من الخلف حتى جاء ابن تيمية فأنكر ذلك وعدل عن الصراط المستقيم وابتدع ما لم يقله عالم قبله
“ Imam Subuki berkata,tawassul, minta tolong dan
minta syafaat kepada Alloh melalui Nabi adalah baik dan tidak ada satupun ulama
salaf dan kholaf yang mengingkarinya, hingga datanglah Ibnu Taymiyyah yang
mengingkarinya, menganggapnya berpaling dari jalan yang lurus serta
membid’ahkannya padahal tidak ada seorang alim pun sebelumnya yang berkata
seperti itu”.
Sebagian sahabat berusaha untuk menyangkal
dibolehkannya tawassul dengan mengkritik sanad sebuah hadist tentang
tawasssulnya Nabi adam Alaihissalam dengan kemuliaan Nabiyullah Muhammad Saw yang
diriwayatkan oleh Imam hakim dalam Mustadroknya, hadist tersebut berbunyi :
حدثنا أبو سعيد عمرو بن محمد بن منصور العدل ثنا أبو الحسن محمد بن إسحاق بن إبراهيم الحنظلي ثنا أبو الحارث عبد الله بن مسلم الفهري ثنا إسماعيل بن مسلمة أنبأ عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن جده عن عمر بن الخطاب قال : قال رسول الله ( [ لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد إلا ما غفرت لي فقال الله تعالى : يا آدم كيف عرفت محمداً ولم أخلقه ؟ قال : يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً (( لا إله إلا الله محمد رسول الله )) فعلمت إنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله تعالى صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إليّ وإذا سألتني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك ) رواه الحاكم وصححه.(
Abu Said Amr bin Muhammad bin Manshur al-Adl
menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim
al-Hanzhali dari Abu al-Harits Abdullah bin Muslim al-Fihri dari Ismail bin
Maslamah dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari
Umar bin Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika Nabi Adam melakukan
kesalahan, ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad
agar Engkau mengampuniku.’ Maka Allah berfirman, ‘Wahai Adam, bagaimana kamu
mengetahui Muhammad dan aku belum menciptakannya?’ Adam menjawab, ‘Ya Tuhanku,
sesungguhnya Engkau ketika menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku
melihat tulisan di penyangga-penyangga Arsy ‘Tidak ada tuhan selain Allah,
Muhammad utusan Allah’. Maka aku tahu bahwa sesungguhnya Engkau tidak
menyandingkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau sukai.’ Allah
berfirman, ‘Kamu benar wahai Adam. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling
aku sukai. Jika kamu meminta kepadaku dengan haknya, maka aku mengampunimu.
Jika bukan karena Muhammad, aku tidak menciptakanmu.’”
Sepanjang pengetahuan penulis Abdurrahman Bin
Zaid Bin Aslam adalah rawi yang dilemahkan oleh para ulama hadits dan
hampir semua kitab rijal hadits menjarhnya bahkan Adz Dzahabi
menganggapnya pemalsu hadist. Oleh karena itu secara kasat mata hadits ini
jelas gugur sebagai hujjah karena kedhoifan rawinya, sehingga tidak perlu untuk
diperbincangkan lagi. Akan tetapi kehujjahan tawassul tidak serta merta gugur
dengan runtuhnya hadits di atas, sebab hadist-hadist yang telah penulis
paparkan dimuka sudah sangat cukup untuk menegaskan kepada kita bahwa tawassul
kepada Nabi baik ketika beliau masih hidup atau sesudah wafatnya adalah hal
yang diperbolehkan.
Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyyah 1/320
mengutip hadist ini dan mengatakan bahwa Abdurrahman Bin Zaid Bin aslam ini
diperbincangkan, sementara al baihaqi mendhoifkannya.
Al Alamah Muhammad Bin Alwi Al Maliki
meriwayatkannya dalam Mafahim Yajiibu An Tushohah dan beliau mengikuti
penshahihan al Hakim. Al Hafidz Al Qostholaniy juga menshahihkan hadist ini dalam
kitab Mawahib 2/392. Penerimaan mutlak Al Maliki terhadap penshahihan al hakim
maupun al Qostholaniy ini bukanlah suatu perbuatan tercela, sebab dalam ushulul
hadist dijelaskan jika seorang hafidz mu’tamad menghukumi shahih suatu hadist,
maka diperbolehkan untuk menerimanya secara mutlak. Hal ini pun diungkapkan
oleh Syaikh Yusuf Qaradhawiy ketika menanggapi kritikan al Albani dalam
Ghayatul marom.
Oleh sebab itu, kritik terhadap cara penshahihan
Al Maliki tersebut sangat tidak tepat, namun mengkritisi sanad hadits riwayat
Al Hakim di atas adalah terpuji. Sebab bisa jadi ada yang tampak oleh ulama’
satu akan tetapi tersembunyi dari ulama’ lainnya.
Wallohu a’lam
Oleh : AHMAD AR-RIFA’I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar