subakir

subakir

Jumat, 20 Desember 2013

Sejarah Hadhramaut

Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd. Menurut sebagian orang Arab, Hadramaut hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu daerah pantai di antara pantai desa-desa nelayan Ain Ba Ma’bad dan Saihut beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya. Penamaan Hadramaut menurut penduduk adalah nama seorang anak dari Qahthan bin Abir bin Syalih bin Arfahsyad bin Sam bin Nuh yang bernama Hadramaut, yang pada saat ini nama tersebut disesuaikan namanya dengan dua kata arab hadar dan maut (menurut sebagian versi).
Nabi Hud merupakan salah satu nabi yang berbangsa Arab selain Nabi Saleh, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, yakni keturunan Aus bin Aran bin Sam bin Nuh. Mereka tinggal di Ahqaf yakni jalur pasir yang panjang berbelok-belok di Arab Selatan, dari Oman di Teluk Persia hingga Hadramaut dan Yaman di Pantai Selatan Laut Merah. Dahulu Hadramaut dikenal dengan Wadi Ahqaf, Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata bahwa al-Ahqaf adalah al-Khatib al-Ahmar. Makam Nabi Hud secara tradisional masih ada di Hadramaut bagian Timur dan pada tanggal 11 Sya’ban banyak dikunjungi orang untuk berziarah ke makam tersebut dengan membaca tiga kali surah Yasin dan doa nisfu Sya’ban.
Ziarah nabi Hud pertama kali dilakukan oleh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan setelah beliau wafat, ziarah tersebut dilakukan oleh anak keturunannya. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad semasa hidupnya sering berziarah ke makam Nabi Hud. Beliau sudah tiga puluh kali berziarah ke sana dan beliau lakukan pada setiap bulan Sya’ban. Dalam ziarah tersebut beliau berangkat bersama semua anggota kerabat yang tinggal di dekatnya. Beliau tinggal (di dekat pusara Nabi Hud) selama beberapa hari hingga maghrib menjelang malam nisfu sya’ban. Beliau menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah ke sana, bahkan beliau mewanti-wanti, “Barangsiapa berziarah ke (makam) Nabi Hud dan di sana ia menyelenggarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, ia akan mengalami tahun yang baik dan indah.” Menurut sebagian ulama kasyaf, makam Nabi Hud merupakan tempat penobatan para waliyullah.Setibanya di syi’ib Nabi Hud (lembah antara dua bukit tempat pusara nabi Hud), Imam al-Haddad bertemu dengan beberapa orang sayyid dan waliyullah, sehingga pertemuan itu menjadi majlis pertukaran ilmu dan pandangan.

Dalam bahasa Ibrani asal nama Hadramaut adalah ‘Hazar Maweth’ yang berdasarkan etimologi, rakyat mengaggapnya berhubungan dengan gagasan “hadirnya kematian” yaitu berkaitan dengan hadirnya Nabi Saleh as ke negeri itu, yang tidak lama kemudian meninggal dunia. Pengertian lain kata Hadramaut menurut prasasti penduduk asli Hadramaut adalah “panas membakar”, sesuai dengan pendapat Moler dalam bukunya Hadramaut, mengatakan bahwa Hadramaut sebenarnya berarti negeri yang panas membakar. Sebuah legenda yang dipercayai masyarakat Hadramaut bahwa negeri ini diberi nama Hadramaut karena dalam negeri tersebut terdapat sebuah pohon yang disebut al-Liban semacam pohon yang baunya menurut kepercayaan mereka sangat mematikan. Oleh karena itu, setiap orang yang datang (hadar) dan menciumnya akan mati (maut).
Kota-kota di Hadramaut.
Di antara pelabuhan yang cukup penting di pantai Hadramaut adalah al-Syihir dan al-Mokalla. Asy-Syihir merupakan bandar penting yang melakukan perdagangan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pesisir Arab Selatan terutama Moskat, Dzofar dan Aden serta perdagangan dengan bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lainnya. Kota Syibam merupakan salah satu kota penting di negeri itu. Syibam merupakan kota Arab terkenal yang dibangun menurut gaya tradisional. Di kota ini terdapat lebih dari 500 buah rumah yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima. Orang Barat menjulukinya ‘Manhattan of the Desert’. Kota tua ini telah menjadi ibukota Hadramaut sejak jatuhnya Syabwah (pada abad ke 3 sampai abad ke 16). Karena dibangun di dasar wadi yang agak tinggi, kota ini rentan terhadap banjir, seperti yang dialaminya tahun 1532 dan 1533. Kota-kota besar di sebelah Timur Syibam adalah al-Gorfah, Seiyun, Taribah, al-Goraf, al-Sowairi, Tarim, Inat dan al-Qasm.
Seiyun
Seiyun
Seiyun merupakan kota terpenting di Hadramaut pada abad ke 19, kota terbesar yang merupakan ibukota protektorat terletak 320 km dari Mokalla’.  Ia juga sering dijuluki ‘Kota Sejuta Pohon Kurma’ karena luasnya perkebunan kurma di sekitarnya.
Kota lain di sebelah Timur Syibam adalah Tarim, yang terletak sekitar 35 km di Timur Saiun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain di kelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dulu, Tarim merupakan pusat Mazhab Syafi’i. Antara abad ke 17 dan abad ke 19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim termasuk kota lama. Nama Tarim, menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama Tarim bin Hadramaut. Dia juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau kota Tarim yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika menyeru untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan: (1) agar kota tersebut makmur, (2) airnya berkah, dan (3) dihuni oleh banyak orang-orang saleh. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba’abad berkata bahwa: “al-Shiddiq akan memberikan syafa’at kepada penduduk Tarim secara khusus”.
Kota Tarim
Kota Tarim
Menurut suatu catatan dalam kitab al-Ghurar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba’alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke kota Tarim sekitar tahun 521 hijriyah. Setelah kepindahan mereka kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu di kota Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di masjid agung kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih kota tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke kota Tarim adalah Syaikh Ali bin Alwi Khali’ Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri.
Diceritakan bahwa pada kota Tarim terdapat tiga keberkahan: (1) keberkahan pada setiap masjidnya, (2) keberkahan pada tanahnya, (3) keberkahan pada pergunungannya. Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap masjid di kota Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba’alawi menjadi universital-universitas yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di kota Tarim yang bersejarah ialah masjid Bani Ahmad yang kemudian dikenal dengan masjid Khala’ Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut. Masjid tersebut dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian masjid tersebut dikenal dengan masjid Ba’alawi. Bangunan masjid Ba’alawi nyaris sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahib Mirbath. Pada awal abad ke sembilan hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan dari masjid tersebut.
Naqib dan Munsib
Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib.
Munsib merupakan perluasan dari tugas ‘Naqib’ yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang ‘naqib’ adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga ‘naqib’, beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya:
Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin.
Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu.
Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan.
Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan ‘naqib’ dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus.
Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya ‘Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad’ berkata: “Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya ‘naqib’ yang dipilih di antara mereka”. Naqib dibagi menjadi dua, yaitu:
Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas:
Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga
Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim
Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama.
Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali.
Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas:
Menjaga silsilah keturunan suatu kaum
Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang.
Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal.
Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya.
Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik.
Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya.
Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati
Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya.
Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu’.
Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan.
Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dari waktu ke waktu tugas ‘naqib’ semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu ‘naqib’ jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas ‘naqib’ tersebut, maka terbentuklah ‘munsib’. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala’ Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.
.
Keluarga golongan sayid.
.
Keluarga golongan Sayid yang berada di Hadramaut adalah:
Aal-Ibrahim
Al-Ustadz al-A’zhom
Asadullah fi Ardih
Aal-Ismail
Aal-Bin Ismail
Al-A’yun
Aal-Albar
Aal-Battah
Aal-Albahar
Aal-Barakat
Aal-Barum
Aal-Basri
Aal-Babathinah
Aal-Albaiti
Aal-Babarik
Aal-Albaidh
Al-Turobi
Aal-Bajahdab
Jadid
Al-Jaziroh
Aal-Aljufri
Jamalullail
Aal-Bin Jindan
Al-Jannah
Aal-Junaid
Aal-Aljunaid Achdhor
Aal-Aljailani
Aal-Hamid
Aal-Alhamid
Aal-Alhabsyi
Aal-Alhaddad
Aal-Bahasan
Aal-Bahusein
Hamdun
Hamidan
Aal-Alhiyyid
Aal-Khirid
Aal-Balahsyasy
Aal-Khomur
Aal-Khaneiman
Aal-Khuun
Aal-Maula Khailah
Aal-Dahum
Maula al-Dawilah
Aal-Aldzahb
Aal-Aldzi’bu
Aal-Baraqbah
Aal-Ruchailah
Aal-Alrusy
Aal-Alrausyan
Aal-Alzahir
Aal-Alsaqqaf
Al-Sakran
Aal-Bin Semith
Aal-Bin Semithan
Aal-Bin Sahal
Aal-Assiri
Aal-Alsyatri
Aal-Syabsabah
Aal-Alsyili
Aal-Basyamilah
Aal-Syanbal
Aal-Syihabuddin
Al-Syahid
Aal-Basyaiban
Al-Syaibah
Aal-Syaikh Abi Bakar
Aal-Bin Syaichon
Shahib al-Hamra’
Shahib al-Huthoh
Shahib al-Syubaikah
Shahib al-Syi’ib
Shahib al-Amaim
Shahib Qasam
Shahib Mirbath
Shahib Maryamah
Al-Shodiq
Aal-Alshofi Alsaqqaf
Aal-Alshofi al-Jufri
Aal-Basuroh
Aal-Alshulaibiyah
Aal-Dhu’ayyif
Aal-Thoha
Aal-Al thohir
Aal-Ba’abud
Al-Adeni
Aal-Al atthas
Aal-Azhamat Khan
Aal-Aqil
Aal-Ba’aqil
Aal-Ba’alawi
Aal-Ali lala
Aal-Ba’umar
Aal-Auhaj
Aal-Aydrus
Aal-Aidid
Al-Ghozali
Aal-Alghozali
Aal-Alghusn
Aal-Alghumri
Aal-Balghoits
Aal-Alghaidhi
Aal-Fad’aq
Aal-Bafaraj
Al-Fardhi
Aal-Abu Futaim
Al-Faqih al-Muqaddam
Aal-Bafaqih
Aal-Faqih
Aal-Bilfaqih
Al-Qari’
Al-Qadhi
Aal-Qadri
Aal-Quthban
Aal-Alkaf
Kuraikurah
Aal-Kadad
Aal-Karisyah
Aal-Mahjub
Al-Muhdhar
Aal-Almuhdhar
Aal-Mudhir
Aal-Mudaihij
Abu Maryam
Al-Musawa
Aal-Almusawa
Aal-Almasilah
Aal-Almasyhur
Aal-Masyhur Marzaq
Aal-Musyayakh
Aal-Muzhahhir
Al-Maghrum
Aal-Almaqdi
Al-Muqlaf
Aal-Muqaibil
Aal-Maknun
Aal-Almunawwar
Al-Nahwi
Aal-Alnadhir
Al-Nuqa’i
Aal-Abu Numai
Al-Wara’
Aal-Alwahath
Aal-Hadun
Aal-Alhadi
Aal-Baharun
Aal-Bin Harun
Aal-Hasyim
Aal-Bahasyim
Aal-Bin Hasyim
Aal-Alhaddar
Aal-Alhinduan
Aal-Huud
Aal-Bin Yahya
Keluarga Alawiyin di atas adalah keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, sedangkan yang bukan dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, adalah:
Aal-Hasni
Aal-Barakwan
Aal-Anggawi
Aal-Jailani
Aal-Maqrabi
Aal-Bin Syuaib
Aal-Musa al-Kadzim
Aal-Mahdali
Aal-Balakhi
Aal-Qadiri
Aal-Rifai
Aal-Qudsi
Sedangkan yang tidak berada di Indonesia kurang lebih berjumlah 40 qabilah, diantaranya qabilah Abu Numai al-Hasni yaitu leluhur Almarhum Raja Husein (Yordania) dan sepupunya Almarhum Raja Faisal (mantan raja Iraq) dan qabilah al-Idrissi, yaitu leluhur mantan raja-raja di Tunisia dan Libya.
__
sumber: indo.hadhramaut.info

Tidak ada komentar:

Posting Komentar