subakir

subakir

Senin, 20 Februari 2012

TEORI, KRITIK DAN SEJARAH SASTRA

Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra.
Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra.
Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.
Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah selesai.
Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh.
Jadi, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar