subakir

subakir

Kamis, 23 Februari 2012

DI JEWER "MALAIKAT!”




Sabtu malam minggu ini benar-benar menjadi hari yang paling luar biasa dalam hidup saya. Bukan karena saya mendapat hadiah lotere atau sejenisnya, justru sebaliknya; saya menghadapi “pengadilan” masyarakat Indonesia di Muscat-Oman. Sungguh, bagi saya ini pengalaman paling berharga dan akan saya kenang sepanjang hidup.Tulisan saya tentang Muscat Festival yang berjudul “Muscat Festival yang Memukau dan Penampilan Indonesia yang Memalukan”, ternyata menimbulkan protes yang luar biasa, terutama dari orang-orang yang terlibat dalam pementasan tersebut.  Situasipun tiba-tiba menjadi sangat tidak mengenakkan. Saya benar-benar tidak menyangka tulisan itu akan beredar di Muscat, dan dibaca oleh masyarakat Indonesia di sini, Karena memang tulisan itu saya tujukan untuk kawan-kawan yang ada di tanah air. Dan jujur, saya kurang mengenal masyarakat di sini serta tidak berteman di facebook kecuali dengan beberapa orang yang baru saya kenal kemudian. Sayapun sudah hampir melupakan tulisan itu, tetapi tiba-tiba situasi menjadi memanas.

Beberapa reaksi pun muncul, termasuk komentar-komentar maupun pesan yang masuk ke inbox fb saya. Hampir semua bernada protes atau mengklarifikasi persoalan, intinya bahwa saya telah menghina “masyarakat Indonesia yang ada di Oman”. Waduuuhh, tuduhan berat neh. Apalagi dalam tulisan tersebut terdapat kata-kata narsis, katrok, nggak tahu diri dan Jaanncuuukkk.Cukk. Dan itu ternyata sangat menyinggung perasaan. Apalagi dengan mengait-kaitkan saya sebagai alumni IAIN, bukankah seharusnya bisa lebih santun dalam berkata-kata? Meskipun sudah saya jelaskan bahwa kata-kata itu memang ungkapan kekesalan pribadi saya sendiri sebenarnya. Tapi semua tidak berarti apa-apa dalam situasi kemarahan. Dan pada akhirnya saya mengakui telah melakukan kekhilafan dalam tulisan saya sebelumnya.

Sebenarnya saya enggan terlibat perdebatan yang kurang  produktif dan tidak perlu. Saya baca kembali tulisan tersebut, dan isinya memang sedikit banyak mengacaukan. Saya baru melihat penampilan itu satu malam dan telah membuat penilaian yang macam-macam. Sayapun mendeletnya dan berusaha meminta maaf bila mengganggu ketentraman masyarakat Indonesia di Oman yang selama ini sudah berjalan sangat baik. Namun hal tersebut rupanya belum cukup, ibarat api yang sudah menjalar, maka akan susah dipadamkan bila tidak di atasi sumbernya.
Akhirnya Mas Seto meminta saya untuk bertemu dengan masyarakat Indonesia di Muscat, terutama mereka-mereka yang ikut pentas kemarin. Mengapa tidak? Saya memang berniat menyelesaikan masalah, apapun yang terjadi. Pertemuanpun di gelar disebuah cofee shop di bilangan Al-Qurm. Seperti sudah di duga, pertemuan yang dihadiri oleh bapak-bapak dan ibu-ibu masyarakat Indonesia di Muscat  itu berlangsung sangat kaku pada awalnya. Saya memang melihat wajah-wajah yang marah dan sakit hati. Wajarlah, apa yang saya tulis memang cukup menohok dan saya akui cukup “kasar”. Saya sendiri merasa malu melihatnya, apalagi membaca kembali tulisan itu.

Acara dibuka dengan sambutan seperti biasanya tentang maksud pertemuan. Lalu tiba giliran saya untuk berbicara, sayapun menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya dan mengakui kesalahan saya. Bahwa maksud tulisan tersebut sebenarnya, atau intinya justru saya sangat menghargai perjuangan masyarakat Indonesia di Oman yang telah mengupayakan dengan bersusah payah keikut sertaan dalam festival tersebut. Hanya saja, saya tidak bisa meyembunyikan ekspresi kekecewaan saya denganpenampilan kita saat itu yang saya anggap memang kurang bagus.

Tapi siapa juga yang mau penampilannya dijelek-jelekkan? Salah seorang warga kita menyatakan bahwa pementas dari negara lain itu dibayar secara profesional dan khusus didatangkan oleh panitia untuk mengisi acara itu. Sementara panitia Muscat Festival tidak memberi kontribusi apapun, bahkan cenderung memaksakan diri agar Indonesia pentas.
Masyarakat kita disini secara sukarela, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit untuk mengangkat nama baik Indonesia. Harap diketahui, bahwa mereka bukanlah orang-orang yang memiliki waktu luang, mereka bukan pembantu rumah tangga, kebanyakan mereka adalah para profesional, tetapi tetap menyempatkan diri untuk latihan dan seterusnya.

Justru itu masalahnya. Kenapa tidak diserahkan ahlinya saja? Harapannya, pementasan tersebut semestinya diisi oleh seniman atau kelompok seni profesional sebagaimana negara lain yang tampil dalam festival itu. Kedutaan semestinya lebih bertanggung jawab untuk mengurusi acara itu dengan mengundang  penampil dari tanah air dan bukan diserahkan ke masyarakat yang memang sudah sibuk.

Di luar itu semua, secara jujur saya memang mengacungi  jempol atas upaya masyarakat disini untuk mempromosikan seni budaya kita. Tantangannya cukup besar, selain kendala waktu, tenaga dan pikiran tadi, ada juga “serangan dari kelompok radikal” yang membid’ahkan, sampai mengharamkan penampilan seni budaya.  Meskipun hal tersebut hanya “problema kecil”  namun bagi masyarakat yang tinggal di Midle East tentu sangat sensitive. Dengan segala keterbatasan yang ada mereka dengan tulus ikhlas menyumbangkan segala daya kemampuan yang mereka miliki untuk mempromosikan seni-budaya kita.Acara Indonesian Festival sudah beberapa kali di gelar di Muscat Oman. Semua atas inisiatif masyarakat, dan diisi oleh kegiatan-kegiatan promo budaya baik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di Oman maupun yang di datangkan dari tanah air.

“ Bayangin saja mas, saya ini insinyur perminyakan. Saya memang pecinta wayang tapi seumur-umur belum pernah ndalang. Baru di Muscat ini saya memberanikan diri untuk mendalang. Musiknya pakai cd audio. Pokoknya ngacau dech, tapi asyik. Mungkin ya baru pertama kali itu di Muscat atau di Timur tengah bahkan, orang mendengar gamelan dan melihat wayang,” kata Pak Dedek dari Solo. Pengalaman lain juga diceritakan oleh Mbak Ochi salah seorang yang saya lihat paling aktif dalam setiap kegiatan Indonesia,” Awalnya saya ditentang sama suami. Sampai berantem, ngapain kamu ngurusin yang begituan. Tapi setelah suami tahu bahwa saya berjuang untuk Indonesia, dia justru paling mendukung hehe..” katanya.

Sayapun benar-benar malu sendiri dengan diri saya. Apa yang di lakukan oleh warga Indonesia di Oman ini layak di contoh. Meskipun dengan segala keterbatasan kemampuan, mereka bangga menjadi Indonesia. Saya kira ini juga layak menjadi catatan penting agar ke depan pemerintah mulai lebih memperhatikan masyarakat kita yang ada di luar negeri, misalnya dengan mengirimkan guru-guru kesenian dan sebagainya terutama untuk mendidik anak-anak Indonesia yang ada di luar negeri. Di beberapa kedutaan memang hal tersebut sudah di lakukan, tetapi di Timur Tengah, saya pikir hal tersebut juga layak di lakukan mengingat animo masyarakat yang cukup bagus terhadap kesenian di sini.

Pemerintah juga diharapkan lebih sering mengadakan ekspose seni-budaya ke Luar negeri, terutama kesenian tradisi Indonesia. Selain untuk promo pariwisata, juga untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa agar Indonesia lebih dikenal lagi sebagai negara yang berbudaya. Bolehlah Indonesia belum beruntung dalam bidang olah raga atau apapun, tapi soal kesenian harusnya Indonesia menjadi yang nomor satu. Faktanya, Bahkan di Oman sendiri Malaysia jauh lebih di kenal daripada Indonesia. Jangan sampai kita kecolongan lagi, bahwa tradisi kita di klaim atau diketahui orang sebagai karya negeri tetangga. setelah itu baru semua orang kebakaran jenggot.

***

Meskipun saya “diadili” namun saya mendapatkan kesan yang “Asyik”. Sebab pada dasarnya, orang-orang yang mengadili saya memiliki visi yang sama untuk memajukan kebudayaan Indonesia. Merekapun sangat ramah dan bijak. Maklum semuanya berpendidikan tinggi. Saya juga tidak membayangkan jika yang saya hadapi adalah warga yang tidak terdidik, bisa seperti kata lagunya Iwan Fals “Hai modar aku”. Karena itu saya sama sekali tidak tersinggung, justru merasa diingatkan, di”slentik”, atau di “jewer malaikat” agar lebih berhati-hati dalam menulis dan melakukan kritik. Tentu akan berbeda kejadiannya jika yang saya hadapi adalah kritikus seni atau publik kesenian secara umum. Jadi pada prinsipnya saya sangat berterimakasih atas kejadian ini. Hal tersebut terbukti, akhirnya situasi mencair dan sangat akrab.

Diakhir acara kita sempat foto bersama, dan seorang ibu nyeletuk,” Ibu-Ibu kok di lawan...hehe” sayapun tersenyum bahagia, bahwa kesalah pahaman itu akhirnya bisa diselesaikan dengan baik. Forum itupun  justru menjadi ajang curhat atas berbagai hal yang semestinya lebih bisa membawa arah yang lebih baik lagi untuk kerja-kerja kebudayaan di Oman pada masa-masa mendatang. Sayapun bisa lebih mengenal masyarakat Indonesia yang ada di Muscat dengan segala keaneka-ragamannya.


***

Lalu bagaimana dengan KBRI? Dalam pertemuan tersebut memang tidak terlihat satupun orang-orang yang bekerja di KBRI. Mungkin mereka masih sibuk mengantarkan pementas yang akhirnya di datangkan dari Jakarta. Saya sudah lihat pementasan mereka--kawan-kawan UIN Jakarta-- sewaktu perkenalan Dubes baru rabo kemarin. Penampilan mereka cukup bagus dan atraktif. Begitulah seharusnya.

Terlepas bagaimana nanti sikap orang-orang KBRI terhadap saya, tetapi saya justru lebih optimis kedutaan Indonesia di Oman akan bekerja lebih baik. Saya sempat berbincang-bincang dengan Dubes baru. Ternyata beliau kawan satu kampus dengan pak Prof Amin Abdullah—rektor saya di UIN Jogja-- sewaktu S3 di Turki dulu. Kalau dilihat latar belakang pendidikan dan pergaulannya, pikiran-pikiran beliau tentu akan asyik. Kita bahkan sempat kaget, tanpa di minta beliau langsung tampil pegang gitar dan bernyanyi tunggal dalam acara informal kedubes baru itu.

Semoga ke depan Kebudayaan Indonesia lebih dikenal di Oman dan di seluruh dunia. Amien.

NB : Sekali lagi saya mohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia di Oman apabila tulisan terdahulu melukai hati anda sekalian. Semoga silaturrahmi kita tetap terjalin dengan baik. Buat Mbak Ochi, tetep semangat ya... Chayooo!!!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar