Sebuah Komentar Harsja W. Bachtiar
The religion of Java ditulis oleh Dr. Clifftord Geertz guru besar University of Chigago yang meneliti di Mojokuto pada bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954. Studi Geertz itu lalu dipakai sebagai referensi oleh banyak orang yang berminat dalam studi tentang agama atau kebudayaan dan masyarakat Jawa. Dr. Geertz tidak membahas masalah teoritis yang pokok maka telah timbul sedikit kebingungan tentang apa yang ia lukiskan dalam studinya.
Studi Geertz tidak menyajikan informasi tentang agama-agama lain yang ada ditempat ia teliti. Walaupun Ia menyebut agama-agama lain itu ada. Hal ini bisa dianggap sebagai petunjuk bahawa system keagamaan yang umum di Jawa itu tidaklah dimaksudkan untuk mengacu kepada semua agama yang dianut oleh orang Jawa. Lalu, yang dimaksud disini adalah agama yang dimanifestasikan oleh orang-orang Jawa yang menganggap diri mereka sebagai pemeluk agama islam. Walaupun tidak identik dengan yang diajarkan Nabi Muhammad. Karena Geertz mencoba menunjukkan betapa banyak variasi ritual, kontras dalam kepercayaan dan konflik dalam nilai-nilai yang tersembunyi dibalik pernyataan 90 % penduduk Jawa adalah muslim.
Terdapat tiga variasi agama menurut Geertz, ketiga tipe itu dinamakan abangan, santri dan priyayi. Abangan yang menekankan aspek-aspek animism sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa. Santri menekankan pada aspek-aspek Islam sinkretisme itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsure pedagang. Dan Priyayi menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsure birokrasi. Pembedaan antara abangan dan santri diadakan apabila penduduk digolong-golongkan menurut perilaku keagamaan. Seorang santri lebih taat kepada agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran ketaatan itu tergantung kepada nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan istilah-istilah itu. Sebaliknya istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori dari klasifikasi yang sama, oleh karena pastilah ada orang-orang priyayi yang taat agama, oleh karenanya mereka santri, dan orang-orang priyayi yang tidak memperhatikan soal-soal agama, dan karenanya mereka dianggap sebagai abangan. Istilah priyayi mengacu kepada orang-orang dari kelas social tertentu, yang menurut hokum merupakan elite tradisional.
Dr. Geertz tidak menegaskan apakah hendak melukiskan kompleks-kompleks kepercayaan dan ritual keagamaan tertentu ataukah kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual keagamaan kategori-kategori tertentu dalam masyarakat. Seseorang yang dianggap sebagai taat kepada agama oleh seseorang, jadi sebagai santri, tidak dengan sendirinya akan dianggap sebagai santri pula oleh orang lain. Dalam hal priyayi, masalah indentifikasi pertama-pertama timbul sebagai pembendaan yang harus diadakan antara status menurut hokum dan status karena pergaulan. Ada orang-orang yang dipandang sebagai golongan priyayi bukan berdasarkan keturunan. Melainkan karena bergaul dengan anggota golongan priyayi. Seperti dokter yang sudah pension di Mojokuto, seorang Sumatra. Sekarang masalah mengindentifikasi seorang priyayi menjadi lebih sulit, karena banyak priyayi tulen yang meninggalkan kebiasaan untuk mencantumkan gelar mereka dimuka nama mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar