Prolog:
Di usianya yang ke 69 Bagus Burhan (nama kecil R. Ng. Ronggowarsito, 1802-1873), pujangga India Rabindranath Tagore dilahirkan dunia. Tepatnya di Joransko, jantung kota Kalkutta pada tanggal 6 Mei 1861. Sebagai putra keempat belas dari lima belas bersaudara, atas pasangan Maharishi Debendranath Tagore dan Sarada Devi. Atau 6 tahun setelah wafatnya Pangeran Diponegoro (1785-1855). Kakek buyut Rabindranath Tagore ialah penggerak Renaissans India, yang bernama Rommohan Roy.
Dengan sahabat karibnya Mahatma Gandhi (1869-1948), Tagore dianggap oleh masyarakat India sebagai perlambang insan setengah dewa. Tahun lahirnya bersamaan dengan seniman ambisius Frederic Remington (1861-1909) yang karyanya berupa lukisan, pahat dan tulis. Di tahun itu pula Abraham Lincoln (1809-1865) terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.
Karya-karya Rabindranath Tagore (1861-1941) di antaranya berupa puisi, novel, cerpen, lukisan serta musik. Di dalam usianya yang ke 52, anak Bengali ini dianugerahi Nobel Kesusastraan, tepatnya pada tahun 1913. Dan pada tahun 1915 mendapatkan gelar bangsawan dari pemerintahan Inggris. Namun beberapa tahun kemudian, dia mengembalikan gelar tersebut, sebagai protes kebijakan-kebijakan kerajaan Inggris di tanah tercintanya, India.
Di sini saya akan menguak tabir puisi beliau, yang berjudul Kepada Tanah Jawa, tertanda tahun 1927. Dia berlawatan ke tanah Jawa setelah perjalanan laut ke Eropa (1924-1925). Di usianya yang ke enam puluh enam, masa istirah sebenarnya. Namun seperti parikan yang pernah tersiar berkembang, bahwa bencah tanah Jawa ialah bencah kedua tlatah India.
Di Jawa, memang tidak ada sungai Gangga, tetapi bengawan Solo cukup menjadi legenda baginya. Kalau tembok Cina dapat terlihat dari bulan, kisah-kisah perdagangan tempo dulu yang melalui aliran bengawan Solo, sudah melekat di sanubari masyarakat Jawa hingga kini. Jika pesulap David Copervill sanggup menembus benteng Cina, pencipta lagu bernama Gesang (lahiran 1-10-1917) telah menuturkan alunan bengawan Solo, untuk diperdengarkan ke telinga dunia.
Di bawah ini puisi Rabindranath Tagore, yang saya peroleh dari K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum). Dan kisah yang tergambar itu, getaran rasa atas kalimat-kalimatnya, yang saya suguhkan sebagai bukti Rabindranath Tagore benar-benar berada ke tanah Jawa.
KEPADA TANAH JAWA
Rabindranath Tagore/1927
Dalam zaman yang kalem, yang jauh, yang tidak tertulis
kita bersua, engkau dan aku
dan dalam perkataanku terjalin dalam perkataanmu
dan jiwaku dalam jiwamu.
Rabindranath Tagore seperti menancapkan keyakinan dalam-dalam, bergumul dalam persetubuhan bathin antara dirinya dengan bencah Dwipa. Tangannya yang santun begitu lembut, menggenggam lemah lempung Jawa kuat-kuat. Di pandangnya dengan kesungguhan sangat, ia merasakan keharuan, dijilatnya lempung tersebut sebagai tradisi Jawa, mengampuh. Lalu diusapkan debu-debu tersebut ke keningnya, sebagai tanda hormat syukur dipertemukan raganya dengan siti Dwipa atau tanah Jawa.
Menurut para wisatawan asing, pada tahun 1803-1939, masih melihat ketujuh Candi Singosari (sebagai bukti kebenaran terbentuknya dinasti) peninggalan kerajaan Singosari (Kerajaan Singosari berdiri 1222 M, raja pertamanya Ken Angrok, merupakan cikal bakal kerajaan Majapahit). Tetapi sayang, peninggalan berupa candi tersebut kini tinggal satu. Inilah bukti keserakan penjajah, juga keteledoran anak bangsa (Jawa) yang tidak mampu merawat peninggalan sejarah. Semua yang beraroma sejarah diganti dengan nuansa Plaza, semisal legenda Jembaran Merah Surabaya. Bajingankah kita?
Kala itu, gunung-gemunung masih segar bugar, memberi kesejukan mata memandang. Bathin menyaksikan mengalir bagaikan mata air nan elok berkumambang di bebatuan hitam, penuh kedalaman renungan. Burung-burung pun tidak enggan berkicau, suaranya nyaring bersiul-siulan di telinga pagi dan petang. Bunga-bunga bermekaran tanpa diusik sebutan yang mematikan, seperti gengsi ditaruh pada pot kemewahan. Andaipun ada, bunga-bunga pada rumah panggung itu masih menyapa bunga-bunga lainnya, yang tidak diperhatikan pemilik rumah.
Alam bersahaja memantul ke dalam jiwa, serupa nyanyian ketentraman, dan para gadis Jawa bersenandung ketika langkah kaki-kakinya yang lincah menuju sendang, membiarkan kulit halusnya dielus aliran tirta pegunungan yang penuh hangat kesejukan. Tagore menatap tanah pertiwi dalam-dalam, lekat hingga tulang sum-sumnya membeku diketidak-berdayaan, sewaktu melahirkan kata-kata. Begitu indah menerima tembang-tembang puja alam kepada Sang Pencipta. Sampai dirinya dapat merasakan limpahan berkah dari lemah Dwipa, seakan terlahir lagi ke dunia, segar seharum tubuh masih muda. Di masa itu, Sultan Hamengku Buwomo IX (1912-1988) baru menginjakkan usianya yang ke 15 tahun. Dengan baju berwarna putih layaknya sang resi, Tagore terus melanjutkan kisah kembaranya…
Angin timur membawa seruanmu yang merdu
melalui jalan angkasa yang tidak terlihat
jauh, ke tempat matahari menyinari pesisir
yang dipayungi daun-daun kelapa.
Tagore duduk di antara bebetuan, dan angin pantai menerpanya, ia teringat awal perjalanan ke bencah Dwipa. Sebelum pelayarannya ke tanah Jawa, dirinya mendapati titah pujangga dari Yang Maha Kuasa, menuruti kalbu untuk menumpangi kapal. Membelah gelombang, membelai cahaya, sambil bercanda dengan decak ombak samudra, di samping membaca alamat kembara, awan jiwa.
Kala siang, kulit mulai keriput itu tersengat mentari, tetapi seakan perjalanan awal kali, ia menikmati seperti pendakian gunung pertama, sungguh menghibur sehingga kulit punggungnya terkelupas tidak terasa. Ibarat sang bocah yang menemukan barang mainannya, yang lama disembunyikan kedua orang tuanya, karena menyebabkan lupa makan juga istirah.
Malamnya, senantiasa berdialog dengan bintang-gemintang, dan sesekali putri bulan datang menghibur kesendiriannya. Diri Rabindranath Tagore seakan tidak pernah lekang dari keramaian percakapan yang paling sunyi dan bening, menimbang merasai dan berfikir di segenap waktu yang disetia. Ia selalu diingatkan pengajaran para pujangga lama, yang membuat dirinya tetap teguh pendirian, melaksanakan perintah meski dikepayahan sangat dalam rasa kantuk memberat, serta menjaga dari kesambillaluan menggoda. Orang pilihan itu mampu memilih, dan melaksanakan pilihannya dengan teguh hati. Di tempat lain, pemuda Soekarno (1901-1970) baru menginjakkan kaki usianya yang ke 26 tahun.
Lalu Tagore beranjak di antara bebatuan. Membuyar ingatannya tentang perjalanan kemarin, terus melangkahkan kakinya di bencah pasir-pesisir, pantai pasir putih, batu-batu mungil. Sesekali melihat tari-tarian janur-janur kelapa yang serasi waktu membiru, dan angin mengibaskan rambut panjangnya yang ikal membentang itu, bagaikan anak-anakan ombak sungai Gangga.
Ia senantiasa tersenyum di setiap kesendiriannya, menyapa alam pertiwi, berharap berbagi teman sepermainan. Sekali waktu kaki-kaki tua itu tergores duri bunga-bunga kaktus yang liar-meliar, ia mengikhlaskan demi salam canda lebih akrabkan ke jiwa. Sementara bunga-bunga kelapa menjadi saksi kecantikan matanya, yang ranum merangkum pengetahuan alam oleh kembaranya. Kerling bola matanya berbinar atas tempaan mutiara hayat yang pernah dinikmati.
Dan kini, ia kembali menemukan mata air itu, sumber falsafah hidup sahaja, serupa alam tropis yang luhur penuh kemewahan wibawa. Keindahan bathin terjemah kelembutan, bola matanya memandang tiada kesudahan, mendapati pancuran bening kesentausaan. Kesungguhan cinta yang dijanjikan, bagi setiap insan yang sudih menebarkan hawa kasih-sayang sebagaimana hakekat kemanusiaan.
Seruan itu bersatu dengan bunyi sangkala
yang ditiup ketika sembahyang
dalam candi di tepi Gangga keramat.
Alunan gending-gending sebentar sayu lalu menggenta. Itulah debaran bathiniah memaknai seruan Sang Kuasa, tergurat kalimat sakti lewat jemari tangan beliau, kian bergetar ketika benar-benar cahaya kapujanggan menimpa diri kembara. Seakan diserang demam mendadak, sebelum ucapan kata-katanya membahana ke relung jiwa alam semesta. Menggoyang pucuk-pucuk cemara, meniup benih-benih kembang, menghadiahkan keindahan seterusnya. Inilah putik-putik bunga yang ditebarkan tangan beliau, di saat memasuki jalan ke perkampungan. Senja mulai menghampiri, Tagore menatap mentari sedemikian peluh-rindu, seakan tak rela berpisah atas perkawanan itu.
Rerumputan padi di pinggiran desa yang mulai menguning, runduk tubuh lengkungnya, sulur daun-daunnya matang mentari, menawarkan bau kedewasaan. Dan setiap penciuman adalah awal sebuah musim, yang diteruskan menjelma pengertian. Sedangkan saling memahami itu, bahasa yang tidak lekang oleh perubahan zaman. Mulanya mengangguk terdiam, sambil menebarkan senyum kegaiban. Senja mulai kemerah, anak-anak tidak lagi diperbolehkan bermain, istilah Jawa-nya sandiolo atau dekat keburukan. Warna mirah itu semakin lama mengungu, menggaris-garis langit senjakala, serupa ada tepian sungai di sana, ia teringat sungai Gangga yang keramat di negerinya.
Dewa Wisnu yang mulia raya bersabda kepadaku
dan Uma, dewi berlengan sepuluh, demikian pula;
“Sediakanlah kapak dan bawalah menyebrangi laut yang asing,
sekalian ucapkan menyembah kami”
Saat memandang gegaris senjakala, seakan lekukan tubuh sungai Gangga. Tagore merasakan dirinya sehawa dalam sebuah candi, denting klenengan kian seru bersusulan, ditabuh angin genderang, begitu pun genta di kalungan leher sapi putih kemerahan, bersahut-sahutan. Dirinya merasakan membumbung ke puncak mega-mega, bersatu dalam kehendak langit masa itu. Kembali, jiwanya digetarkan seruan kemarin silam, semasa di India. Panggilan kedua yang sama, sebagai pelaksanaan tugas setelah menginjakkan kakinya di bencah Dwipa. Sesudah menyebrangi lautan asing, di mana tempat mentari mengumpulkan energi, bintang-gemintang kuat memancarkan tubuhnya di tanah Jawi.
Senja terus merampungkan tugasnya, menenggelamkan surya, membangunkan kunang-kunang menghiasi malam ganjil, lalu jiwanya balik turun ke bumi, selepas mengawang, mengenang seruan sabda Mulia Raya. Kampung persinggahan kala itu, menerimanya sebagai ruang paling bersahabat. Seorang kembara ialah tamu para pemukim. Pengelana itu raja yang tidak punya istana mungil keduniawian, tetapi kastilnya berupa alam semesta, tiang-tiang berdiri ialah niatan, keteguhan hati. Dan perabotannya terdiri dari kepasrahaan, serta keikhlasan, di setingkap hawa goda pancaroba, sedangkan mahkotanya berupa kesetiaan.
Malam semakin menanjak, ia meminum seteguk air putih demi pengganjal lapar, dan dihisapnya aroma dini hari, sekuat menyetubuhi kesungguhan titah. Seorang mulia, mempersembahkan hidupnya bagi Sang Wenang, seluruh peribadatannya di dalam menjalani kehidupan. Semua datang dan pergi kepadanya, menjelma tetembangan yang terus berkumandang. Jika kesedihan mendentang, disusul sukacita kemesraan, sampai menemukan kesempurnaan, keseimbangan bathin, keselarasan jiwa, kepaduan nada-nada kalbu kepada jantung hidupnya. Dan mengamalkan perintah bukanlah hal memberat, setelah bersatupadu pada tubuh kehendak.
Sungai Gangga mengulurkan tangannya ke lautan timur
dalam gelombang amat dahsyat
dari langit bersabdah dua suara yang kuasa kepadaku- yang satu
yang menyanyikan keindahan sengsara Rama,
yang lain menyanyikan kemenangan Arjun.
Mendesak daku membawa kakawinnya meyebrangi laut
ke pulau-pulau timur.
Fajar pun menyingsing, Tagore kembali diingatkan akan keindahan sungai Gangga atas lahirnya mentari timur. Dua suara datang bertubi-tubi kepadanya, sengsara dan kemenangan. Dirinya seakan diperintah menyeberangi di antara keduanya. Pagi itu ia bersemedi, menuangkan segenap perhatian bathinnya untuk melangkah, menyusuri anak panah atas tarikan nafas-nafas lama. Dan melesatlah bagaikan kilat, tiada menghirau sakit gembira, tidak merasai sedih pun suka memberat, masuk ke alam hampa. Hilang rasa cinta selama ini, begitu pun kebencian. Jiwanya ampang seampas tebu yang habis dihisap anak-anak gembala. Seolah tidak bermakna dan terus.
Sampailah bathinnya ditarik oleh kedua arah itu semakin kuat. Ada daya grafitasi di antara sengsara Rama juga kemenangan Arjuna, namun ia berusaha teguh tidak bertepuk dalam pesta, juga tidak mengalirkan airmata kesedihan. Ini lawanan nafsu dan nurani. Rabindranath Tagore masih memejamkan mata sambil menghadap mentari. Dirinya telah berada di timur tanah Jawa, tetapi anak panah kalbunya itu tetap mengajaknya melesat, dan akhirnya menghujam kepada matahari. Ia pun merasakan terkena panah, ada titik-titik kebertemuan, jiwanya dengan sang surya, lalu purnalah firasat semedinya. Ia membukakan mata pelahan-lahan, kala mentari setinggi pohon jambu klutuk di samping rumah penduduk setempat, letak di mana semalam ia menginap.
Esoknya, ia melanjutkan perjalanan. Entah berapa bulan berada di tanah Dwipa, tetapi dirinya masih terngiang tanah kelahiran. Atau ia tengah memadukan energi, pulau Jawa dan India, sebab dalam benaknya, Jawa-India adalah satu tumpah darah. Langkah berayun meneruskan niatan, baju yang dikenakannya mulai coklat kekuningan, atas tempaan panas mentari, juga hempasan debu kaki-kaki pedati. Sampailah ia di lempengan kaki Candi Borobudur, dan serentak itu, tubuhnya bersembah sujud pada Yang Asih.
Di masa itu penjajah di tanah Jawa tidak begitu menghiraukan orang-orang asing, apalagi dari dataran tanah India. Kiranya sekadar wisata atau ngelukkru beribadah kalau beragama Hindu atau Budha. Dan agama Islam sudah menjadi momok ancaman penjajah, sebagai jalan tempuh kemerdekaan kedua, di tanah sumpah Palapa. Masa dimana pendiri organisasi Nahdhotul Ulama’ Hasyim Asyari (1875-1947) dalam usianya yang ke 52 tahun.
Kala itu di tempat berbeda, daerah Ponorogo di desa Tegalsari, Jetis. Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari sudah kesohor atas mutiara santrinya yang bernama R. Ng. Ronggowarsito (yang dimakamkan 54 tahun lalu di desa Palar, Klaten, dari hitungan Rabindranath Tagore di tanah Jawa). Rabindranath Tagore terus menaiki tangga tingkatan candi Borobudur, dari tingkatan paling bawah, kamadhatu menuju ke tingkatan rupadhatu, sampai ke tiga tingkatan arupadhatu. Pada stupa paling akhir, atas ketinggian mega-mega juga burung-burung kelana, ia membalik terkenang perjalanannya. Kalaulah Goenawan Mohamad pernah menuliskan; “Di mana masa silam datang pada kita, dan kitalah yang menjadi tamu.”
Pagi hari datang; kapalku menari di gelombang biru tua
layarnya yang putih kembang gagah di tiup angin
ia mencium pesisirmu, langit gemetar dan selubung hijau dewi rimbamu
pun bergerak, kita bersua dalam bayang-bayang senjakala,
ketika malam sunyi-senyap, malam menjadi muram;
siang hari menebarkan emasnya di jalan —tempat kita bersua
jalan jiwa kita berdua menempuh jaman bersama-sama,
dari abad ke abad, antara impian yang gilang-gemilang yang tidak terbilang.
Pada sap candi Borobudur paling tinggi arupadhatu, ia menuliskan sajak bertitel Candi Borobudur, sambil bersandaran pada tubuh stupa terbesarnya. Letak itu, Tagore memandang lepas ke sekeliling candi, pohon-pohon kelapa berdiri tegak, sulur daun-daunnya senantiasa digoyang angin pegunungan. Rumput pepadian hijau perawan, menyiarkan berita kesuburan. Sesekali burung-burung hinggap di atas stupa, seperti mengucapkan salam kedatangannya.
Warna biru langit penuh, membicarakan pelayarannya masa lalu, saat disapa burung-burung pantai, camar-camar berkejaran di muka pesisir menebarkan cerecah. Gunung-gemunung hijau daunnya, pepohonan dikenangnya, selalu menyirap dirinya pada kedalaman bathin keunggulan. Sampai datang senjakala seakan tiba-tiba atas lamunan lembut melembutkan rasa, lentur melenturkan suara. Bayang-bayang senjakala mulai kelihatan, pada tubuh-tubuh stupa, pepohonan pisang tampak kecil di ketinggian jauh.
Waktu mulai temaram, seorang gadis belia penduduk setempat datang ke Candi, letak Tagore tua tengah menikmati pemandangan. Perempuan itu bertubuh semampai berbusana kebaya, senyumnya bagaikan gula-gula Jawa menebarkan pesona, menghaturkan sang pujangga untuk menikmati bebuahan yang ia bawa. Gadis itu memang setiap temaram ke sini, demi mendatangi kalau-kalau ada seorang kembara yang singgah di Candi.
Ritual tersebut dilakukannya sebagai hormat perintah orang tuanya, lalu darah kelelakian Bengali itu teringat wajah-wajah gadis di negerinya, yang juga malu-malu ketimuran. Dan tak berapa lama, gadis manis itu memohon pamit, meninggalkan buah-buahan bagi beliau. Tagore menggangguk tanda menerima syukur. Kembali, ia disergap keheningan malam, tiada kunang-kunang pada ketinggian Borobudur, kicauan burung pun telah sirna bersamaan senja memulangkan mentari.
Bengi senyap membungkus tubuh tersebut dengan angin dingin yang sangat, raga rentah itu seakan tidak kuasa oleh tiupan malam. Tetapi ia tidak mau turun dari ondakan-ondakan pada lereng Candi. Barulah ketika wajah rembulan muncul, kesenyapannya terhibur, sedikit demi sedikit mulai merasakan kehangatan. Lantas ia bersila di ketinggian candi sampai pagi menjemput mentari kembali.
Sinar pepagian keemasan mulai meniup hawa kehangatan, seperti jalan-jalan angkasa, dan fikiran berkendaraan imaji tetap melangkah, menebarkan kemungkinan bertemunya nilai-nilai, sambil membawa setumpuk kisah, untuk diselidik ulang-balik pada perhitungan ganjil penentu hati kepenuhan, yakni kesehatan bathin. Dan spiritualitas itu cahaya yang menempa tubuh berulang-ulang. Memasuki abad-abad lalu tenggelam, diteruskannya sampai kekinian, hingga jaman gilang-gemilang, puncak di mana dirinya sebagai kesatuan saksi pencerah tanah Dwipa.
Zaman pun silam, malam yang gelap menutupi kita
kita tidak kenal mengenal lagi
tempat kita duduk hilang lenyap, tertimbun abu roda kereta.
Tagore seakan melemparkan jala kemungkinan yang teramat mengganjal. Ia melengkingkan kegelisahannya akan masa yang tidak mengenak. Menujum kemungkinan suram tertandakan, dari alam mulai membosan, atas tingkah-pakolah anak-anaknya yang mengenyam berkah dengan penuh keserakahan. Melihat roda penjajah yang semakin mencengkeram lahan-lahan liat, peradaban timpang bertambah beringas, kalbu-nurani tersisikan ke tepian -kesunyian. Akal budhi menjadi asing, semua terhapus, diganti norma-norma kepentingan, jiwa-jiwa tercampak jauh dan terpencil, sulit diketemukan kembali.
Bencah tanah Jawa dan India terasing kembali dari adat istiadatnya, serempak berganti baju modernisasi yang tidak berwatak membumi, wacana-wacana asing menenggelamkan dunia perasaan, mengangkat logika setinggi-tingginya, sehingga tata krama hilang musnah, semua tergadai oleh perhitungan kebutuhan. Pengertian orang kaya terdahulu ialah kurangnya meminta kebutuhan pribadi, tetapi senantiasa memberi pengayoman sesama, atau sedikit sekali kebutuhan dirinya, namun yang memenuhi kebutuhan orang lain dengan ikhlas kasih-sayang. Wajah-wajah lugu diganti muka-muka molek rayuan, senyum ramah pun berubah menjadi senyum sungging menginjak sesama.
Di mana para pendahulu telah meramalkan, pun juga beliau. Seorang pujangga itu mengambil jarak atas jamannya, ia tidak terhanyut pula tidak berkendaraan. Ia berada di sebrang kenyataan, tempat lain yang lebih hakiki dari sekadar realitas tampakan. Pujangga adalah seorang penarik dan penabur nilai-nilai luhur dengan kesungguhan bersahaja, demi dipersembahkan kepada tanah tumpah darahnya, ibunda pertiwi, agar tidak kebablasan melupakan sejarah. Tetapi bukan berarti mengambil akar-akaran yang tidak berfaedah, ia menarik akar-akar yang penting sebagai jamu, guna kesehatan sesama, kelangsungan hayat berbudaya, menjunjung tinggi hakikat fitroh bermasyarakat, kemanusiaan yang adil penuh wibawa, dalam istilah R.Ng. Ronggowarsito sebagai Sastra Jendra Ayuningrat.
Dan aku dihanyutkan pasang surut kelupaan
kembali ke pesisirku sendiri yang sunyi
senyap-tanganku hampa dan semangatku kosong
laut di rumahku jadi bisu,
tidak menceritakan pertemuan kita yang disaksikannya itu,
dan sungai Gangga yang gemar bicara itu
tidak memberitahukan kepadaku di mana jalan yang tersembunyi
dan yang jauh, ke tempatnya yang lain, yang keramat.
Kala itu Rabindranath Tagore di ambang keputusasaan kabut, diseret oleh alunan nujumnya kepada alam yang kelam, kosong ingatannya akan kebeningan tekat berbinar-binar kemarin silam, luntur satu persatu benang-benang harapannya, ketika menyaksikan alam menjerit meminta tolong, memohon ampun. Ia tidak kuasa mengembalikan rindu kepada tempat semula, yakni kepada kehendak suci lagi mulia. Semangatnya berangsur menuju hampa, ia bukan tengah istirah atau mengendorkan urat syaraf. Tetapi sedang merasakan tubuhnya tenggelam dalam kepiluan memberat. Andai pun ada dendam, itu pun tidak akan mampu mencuat.
Saat kepiluannya membumbung, tidak kuasa lagi menerima keadaan. Semua terlihat bisu dihadapannya, alam yang dulunya renyai selalu memberi kabar kepadanya, diganti kesenyapan. Bathinnya sunyi seolah tuhan meninggalkan kalbu mungil itu. Tanpa ada kesaksian ketika waktu-waktu pilu terus berlalu. Mendiamkan diri bersama kabut nan pedut, larut ke alam kenangan yang buram. Ia kehilangan jejak kemuliaan atau seperti masa-masa kebosanan, yang menutup seluruh pintu kemungkinan, sampai tidak ada lagi pengajaran yang masuk dan mengena. Segala asing menjadi hal biasa, dan yang biasa semakin lama hilang pengertiannya.
Warna senjakala tiada lagi membicarakan sungai Gangga pada garis-garis keningnya. Seumpama seekor burung lupa arah, mengapung lupa tujuan ke mana, berputar-putar tetapi bukan mencari mangsa, namun mencari alamatnya yang hilang dari peredaran kembara. Hanya kelelahan, kekosongan itu dipapanya ke pembaringan, menuju alam kegelapan. Tagore tertidur dalam kepayahan mencari, ruh alam memberkatinya, memenuhi jiwanya saat ia tidak sadarkan diri.
Saya datang kepadamu, memandang matamu
dan seperti melihat cerlang gaib yang kemilau
ketika kita bersua pertama kalinya dalam hutanmu, cerlang suka cita raya.
ketika kita saling mengikat pergelangan dengan benang merah persaudaraan.
Rabindranath Tagore terbangun dari tidurnya. Memulai kembali ingatan, dari yang mengantarnya lelap dalam kepulasan. Kehampaan nujumnya kepada peradaban, kalau-kalau nanti anak kehidupan, hanya sekadar menuntut kebutuhan bagi roda jamannya semata. Jikalau ditarik dari sejarah, Einsten (1879-1955) berusia 48 tahun di masa itu.
Ia memandangi langit siang terik seperti melihat harapan cemerlang melayang-layang di atas kepala. Awan putih menyebar ke tepian cakrawala. Ia menyaksikan langit biru lepas tanpa mega keraguan. Matahari memberi cahaya kepenuhan saat itu, menyentakkan sedari lamunan panjang kegagalan.
Bayu menyapa kembali, melewati sulur daun-daun pohon rindang raya yang mengantarkan kabar kegembiraan bagi kehampaan jiwa. Lalu kemanusiaannya menari-nari, serasa awalkali menginjakkan kaki di bumi. Dan senandung alam tropis tanpa bersolek pun jadi memikat hati. Ia terhanyut kebersamaan, kepaduan panorama sekitar dengan dirinya sebagai tamu di tanah Jawi. Sekarang Tagore telah menjadi tamu sekaligus tuan rumah. Sebab tanah tumpah darah itu keluhuran budi menterjemah alunan timur ke pelosok sejati rasa, dusun terpencil naluri manusia.
Tagore kembali segar-bugar untuk beberapa kalinya di tanah Jawa. Tetapi dalam benaknya masih bertanya; Apakah ini sekadar halusinasi, sudah merasakan persahabatan intim? Jiwanya diantar balik antara sungguh dan ragu. Diombang-ambingkan semangat dan sambillalu, yang setiap masanya sanggup menjerat langkah. Ia seolah balik dikemuraman batu, namun ada yang tertahan, masih sungguh mendengarkan perintah awal perjalanan, titah Sang Wenang, demi dirinya kembara melayari lautan, untuk menemui kepulauan timur Jawa.
Alam tua itu telah muram,
akan tetapi belum lepas dari tanganmu.
Ia kembali menegaskan dalam dirinya, akan kabar terang dari selipan mera-mega membuyar. Tagore menancapkan janji-janji bagi jiwa-jiwa kesungguhan, mereka yang teguh tekatnya, yang memiliki niat membaja. Ia bukan merayu, namun inilah teguran amat sungguh, bagi bangsa pertiwi, yang tidak ingin lepas dari takdir besarnya.
Tagore tua berseru kepada tanah Jawa juga India, demi anak-anaknya nanti, pewaris terhormat dari tradisi ketimuran mulia. Namun siapakah yang sanggup menterjemah petuahnya, ketika insan saling berlomba mencari kedudukan dunia (waktu itu, 12 tahun sebelum Perang Dunia II, 1939-1945). Bathin bukanlah perkara jasad, dan jasad yang berbusana gemerlap, tidak mampu duduk lama-lama di mana tepat di turunkan berkah mahabbah pujangga. Nafsu menemui nafsu, nurani berjumpa bangsanya, semuanya mengalir mengikuti jalan masing-masing, begitu juga niat bertirakat.
Di jalan yang kita tempuh dahulu
masih tersebar bekas perkataanku,
sehingga aku mendapat jalan lagi ke dalam jantung hatimu,
tempat sinar masih bercahaya, sinar kita nyalakan bersama-sama,
pada malam pertemuan dahulu kala.
Rabindranath Tagore seakan berkata-kata; “Jikalau rindu datanglah ke tempat semula, letak perjumpaan kita sedia kala, setia menjalani keseiramaan bathin atas saling membuka. Dan buanglah segala curiga juga was-was menghantui jiwa. Sebab bangunan yang tertata, berasal dari tumpukan kangen menggebu rasa.”
“Barangsiapa rindu tentunya bertemu, yang kayungyung berjumpa pula. Kebertemuan inilah cahaya terang-benderang, takdir kebersatuan menambah cerlang kilaunya, meski dalam kemalaman. Sebab malam kelam pun menambah memikat sukma. Merambah kepada keheningan penciptaan paling mulia, bathin menjembatani ke alam timur raya.”
“Sukurlah kebertemuan itu, sehingga cerlangnya awet sampai di pembaringan jaman. Persahabatan kita akan abadi, berikrar menyetiai janji sehidup-semati. Perkataanmu menjelma merkataanku, dan perkataanku juga perkataanmu, saat benar-benar diri kita dalam kuluman bibir samudra rindu. Yang jauh tidak lagi jauh, yang dekat semakin erat, dan semuanya berlangsung penuh kenikmatan sungguh.”
“Rasa cinta benderang, menghimpun perasaan, sehingga fajar menjelang. Kita menyatukan senja dan fajar kepada ingatan jaman, atas perjalanan terus terekam dalam bayang-bayang juga cerecah burung terbang.”
“Ruh kita bersama tubuh elang kelana, demi mencari pengalaman, rasa syukur beribadah di segenap tingkah laku hayat menerima takdir nyata, atas kaki-kaki disempurnakan doa moyang, dan ridho Sang Wenang. Dan saat diharuskan berpisah di perempatan jalan, kita masih sejiwa pada kembara ritual doa.”
Ingatlah aku sebagaimana aku mengingat wajahmu
dan lihatlah padaku sekalian yang telah silam
akan tetapi yang harus kita hidupkan kembali nan kita perbaru.
“Perpisahan bukanlah akhir persahabatan, sebab kita hakekatnya bersama. Kini sekadarlah beda tempat, kau di Jawa aku di India. Wajah keelokan pertiwimu senantiasa kuhirup bau kembangnya, dan tak akan kulepas. Bauh warna serta gelombang bathin kita saling menebarkan jala, olehnya tidak merasa hilang sampai akhir masa. Mata dunia pun merekam persahabatan langgeng kita, dalam pembaharuan alam tropis, yang terus berhembus kepada kaki-kaki gunung –kepulauan kita. Dan perkataan kita, adalah bukti kelangsungan persetubuhan jiwa-jiwa mandiri.”
“Sekali lagi, jarak waktu dan tempat bukanlah apa, setelah kesamaan ombak mencipta dayadinaya. Diriku memandangmu dalam, lekat tidak pernah sirna, meski bukan memejamkan mata, dan pada dirimu pun berlaku sama. Kesatuan saksi ini siarkanlah, agar mereka tahu bahwa aku benar-benar pernah melangkahkan kaki di tanahmu. Dan biarkan yang tidak percaya, sebab mereka akan mengerti bagaimana rasanya, kalau kita pergi meninggalkannya.”
“Marilah mengibarkan panji-panji kapujanggan di tanah pertiwi kita masing-masing, kesemangatan menjadi peleburan nilai-nilai atas titah pujangga Sang Asih. Kita mengalirkan sungai-sungai tersebut hingga mereka tersadarkan, di waktu yang tidak terekam selain debur ombak angin dan lautan, yang mengantarkan kebaharuan, bagi yang ikut serta dalam perjuangan.” “Kucium keningmu Tagore, dan salam damai dari Buyutku…”
—-
*) Pada halaman 357, tepatnya dalam sub judul; Hubungan Kita dengan Rabindranath Tagore. Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya, bagian II A: Kebudayaan (diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, tahun 1967), mengatakan bahwa pada tahun 1927, Sang Pujangga Rabindranath Tagore berkunjung ke perguruan Mataram – Jogjakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar