KESALAHAN-KESALAHAN DALAM PEMAHAMAN AL-QUR’AN:
Dari Teori Darwin Sampai Penjelajahan Ruang Angkasa
I. Teori Darwin
Kekeliruan
sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872)
dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat
lainnya. Memang, tak sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran
teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles Darwin, 'Abdurrahman Ibn
Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i
wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut:
"Alam
binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses
kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan pandangan. Manusia
meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui
tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."
Yang
dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang --oleh para
penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan
lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk
kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitian mereka.
Walaupun demikian, ada sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan
teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti:
Mengapakah
kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah, sedangkan Dia telah
menjadikan kamu berfase-fase (QS Nuh/71: 13-14).
Fase-fase
ini menurut mereka bukan sebagaimana apa yang kami pahami dan yang diterangkan
oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun/23 ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya
sesuai dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses kejadian
manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang tak
bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi
(QS ar-Ra’d/13: 17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life"
yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi,
dan yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan
membenarkan teori Darwin, tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah
menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah
Al-Qur'aniyyah, sebagai berikut:
"Mereka
yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri mereka sendiri,
karena mereka tidak puas terhadap kebenaran argumentasi-argumentasinya. Tetapi
mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka
tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari tanah dalam satu
penafsiran saja kemudian menyalahkan penafsiran-penafsiran lainnya." (Bandingkan dengan 'Abbas Mahmud Al-Aqqad,
Al-Insan fi Al-Quran Al-Karim, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 171)
Atau
apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar.
"Teori
Darwin tidak membatalkan --bila teori tersebut benar dan merupakan hal yang
nyata-- tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan
satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang
sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang
benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang dan
kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan kekejaman yang
dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori
tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."( Al-Manar,
Sya'ban 1327/September 1909)
Kita
tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat
Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori cepat-cepat pula kita membuka
lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena
apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau sebaliknya, maka
musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk menyalahkan Kitab
Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat guna
membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu:
Janganlah
kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini
menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan
mereka (QS al-An’am/ 6: 108).
Ayat
ini melarang kita mencemoohkan mereka, karena cercaan kita merupakan sebab dari
cercaan mereka kepada Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran:
jangan membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat Allah
(Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak membahas persoalan-persoalan
tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara mendetil, karena tidak dapat
diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu
kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau diketahui oleh manusia di
masa turunnya Al-Quran, seperti firman Allah SWT:
Apakah
orang-orang kafir tidak berpikir sehingga tidak mengetahui bahwa langit dan
bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup dari air (QS al-Anbiya’/ 21: 30).
Setiap orang bebas dan berhak untuk
menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia tidak berhak untuk menguatkan
pendapatnya dengan ayat tersebut dengan memahaminya lebih dari apa yang
tersimpul di dalamnya. Karena dengan demikian ia menjadikan pendapat tersebut
sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan ia juga tidak berhak untuk
menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali bila ia membawakan satu nash
yang membatalkannya.
II. Pesawat Ruang Angkasa Rusia Sputnik
Dalam
proses memadukan ilmu pengetahuan dan agama, sementara cendekiawan Muslim membawa
hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan kepada Al-Quran kemudian
mencari-carikan ayat-ayat yang mungkin menguatkannya, sehingga tidak heran
kalau kita mendapati penafsiran-penafsiran yang amat berjauhan dengan arti
serta tujuan ayat-ayat tersebut.
Dalam
kitab Al-Quran wa Al-'Ilm Al-Hadits karangan Al-Ustadz 'Abdurraziq
Naufal, terdapat satu contoh yang sangat nyata mengenai apa yang dipaparkan di
atas, Ia membahas ayat yang berbunyi:
Dan apabila telah dekat masa azab
menimpa mereka. Kami keluarkan seekor binatang dari bumi yang berbicara dengan
mereka bahwasanya manusia tiada menyakini ayat-ayat/tanda-tanda kebesaran Kami (QS an-Naml/27: 82).
Ayat
ini menurutnya membicarakan tentang sputnik dan penjelajahan angkasa luar.
Selanjutnya, ia mengatakan:
"Sesungguhnya
Rusia telah meluncurkan pesawat angkasa yang mengangkut binatang-binatang,
kemudian mereka mengembalikannya ke bumi, sehingga binatangbinatang tersebut
berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang sangat nyata dan mengungkapkan
sebagian dari misteri yang meliputi alam semesta yang penuh keajaiban
ini."
Di
sini kita tidak mempunyai suatu komentar lebih tepat dari apa yang pernah
dilontarkan oleh Prof. Dr. 'Abdul-Wahid Wafi, salah seorang dosen penulis pada
Universitas Al-Azhar:
"Mungkin
dia mengira bahwa anjing bernama 'Laika' (yaitu anjing yang dikirim Rusia ke
angkasa luar) telah berbicara dengan bahasa anjing dan mencerca manusia karena
tidak mempercayai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang nyata."
III. Penjelajahan Ruang Angkasa
Di
Indonesia, ayat 33 surah Ar-Rahman/55 dijadikan dasar oleh sebagian cendekiawan
kita untuk membuktikan bahwa Al-Quran membicarakan persoalan-persoalan
angkasa luar. Mereka menyatakan bahwa sejak 14 abad yang lalu, Al-Quran
telah menegaskan bahwa manusia sanggup menuju ke ruang angkasa selama mereka
mempunyai kekuatan, yaitu kekuatan ilmu pengetahuan. Kita tidak mengingkari
bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk sampai ke bulan dan planet-planet
lainnya. Bahkan manusia telah mendarat di bulan. Tetapi sulit dimengerti
hubungan ayat ini dengan persoalan tersebut.
Menurut
hemat penulis, ayat ini membicarakan keadaan di akhirat kelak, yang
menyampaikan tantangan Tuhan kepada manusia dan jin. Ayat tersebut berarti:
"Wahai sekalian manusia dan jin bila
kamu sekalian sanggup keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan
diri dari kekuasaan dan perhitungan yang kami adakan, maka keluarlah, larilah.
Kamu sekalian tidak dapat keluar kecuali dengan kekuatan, sedang kalian tidak
mempunyai kekuatan."
Perintah
dalam ayat tersebut menunjukkan ketidakmampuan kedua golongan manusia dan jin
untuk melaksanakannya. Ayat tersebut dipahami demikian mengingat ayat
sebelumnya yang berbunyi:
Kami
akan menghisab (mengadakan perhitungan) khusus dengan kamu wahai manusia dan
jin, maka manakah di antara nikmat-nikmat Tuhanmu yang kamu ingkari? Wahai
golongan jin dan manusia bila kamu sekalian sanggup untuk keluar dari langit
dan bumi ... (QS
ar-Rahman/55: 31-33).
Perhitungan
khusus atau hisab tersebut akan diadakan di hari kemudian, bukan di dunia.
Kalaulah ayat Ya ma'syar
al-jinni wa al-insi tersebut
dianggap membicarakan keadaan di dunia dan menunjukkan kesanggupan manusia
untuk melintasi angkasa luar, maka hendaknya, anggapan tersebut tidak segera
dibenarkan setelah memperhatikan ayat berikutnya, yang berbunyi:
Dikirim
kepada golongan kamu berdua (wahai jin dan manusia) bunga api dan cairan
tembaga sehingga kamu sekalian tak dapat mempertahankan diri (tak dapat keluar
dari lingkungan langit dan bumi) (QS
ar-rahman/55: 35).
Ayat
ini dengan tegas menyatakan bahwa usaha manusia dan jin untuk keluar dari
lingkungan langit dan bumi akan gagal. Dari sini hanya ada dua alternatif dalam
menafsirkan ayat-ayat tadi: Pertama, ayat 33 dari surah Al-Rahman/55 membicarakan
persoalan dunia serta kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit dan
bumi dalam arti keluar angkasa. Dan kedua, ayat tersebut membicarakan keadaan
di akhirat serta kegagalan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk
melarikan diri dari hisab dan perhitungan Tuhan.
Jika
dipilih alternatif pertama, maka ini akan mengakibatkan dua hal yang sangat
berbahaya bagi pandangan orang terhadap Al-Quran, yaitu
1. Bahwa Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya,
karena ayat 34 menerangkan kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit
dan bumi, sementara ayat 35 menerangkan kegagalan manusia keluar dari keduanya.
2. Al-Quran --dalam hal ini ayat 35-- bertentangan dengan
kenyataan ilmiah, karena ayat tersebut menyatakan kegagalan manusia keluar dari
lingkungan langit dan bumi. Sedangkan manusia abad ke-20 ini telah berhasil
mendarat di luar lingkungan bumi (yaitu bulan).
Tetapi
jika dipilih alterantif kedua, yaitu bahwa ayat-ayat tersebut membicarakan
keadaan di akhirat, maka tidak akan didapati sedikit pun pertentangan. Firman
Allah:
Jika sekiranya Al-Quran datangnya
bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapat banyak pertentangan di
dalamnya (QS
an-Nisa/4: 82).
Dalam
ayat di atas tidak ada pertentangan, karena ayat itu menerangkan ancaman Tuhan
kepada manusia dan jin, dan menyatakan ketidaksanggupan mereka keluar dari
lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari perhitungan yang akan
terjadi kelak di akhirat; karena mereka tidak mempunyai kekuatan.
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
http://media.isnet.org/islam/Quraish/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar