Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi
adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah
sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama
sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu
yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan
as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamya banyak
sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan
Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu,
mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang
kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh
agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pengukhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan
maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam
pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak
dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali,
karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan
cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh
diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan
dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir:
hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan
waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang
melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum
bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi
bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai
ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini
bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk
kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam
beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari
tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu
Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan
kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan
Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini
disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian
hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul
Bari 3: hal. 84)
Imam Nawawi juga berkata senada di
dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan
waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,(
yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul
'Urubah dan direstui Nabi.
Jadi dapat difahami, bahwa
pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk
penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada
keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu
sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah
dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan
umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut
akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.
Acara maulid di luar bulan Rabiul
Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh
wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang
diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya
adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya
dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan
menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi,
karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan
dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan
maksiat.
Semisal di Yaman, maulid diadakan
setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama
dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan
Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat
dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh
syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah
dholalah.
Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
Di antara orang yang mengatakan
maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi,
sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham
bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah.
Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih
disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut
diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa
dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian
as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark
tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat
mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu
adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi
meninggalkan sesuatu:
1.
Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam
ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat:
"Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS
Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua
secara rinci.
2.
Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan
akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya,
seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena
khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
3.
Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan
sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya
bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan
kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah
membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi
meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah
agar tidak terganggu.
4.
Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di
dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya
untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi
menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram?
Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku,
saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan
bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak
berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
5.
Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih
afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul)
adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih
luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit
tark)
Dan Nabi bersabda:" Apa yang
dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang
diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka
terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu,
kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu
Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah
menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan
batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka
jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat
bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:"Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa
yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa
"at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman
maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan
berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang
yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan
Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil
itu tidak ada", peryataannya Imam Suyuti ini didasarkan karena beliau
sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid
dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul Qowim, hal.28)
Zarnuzi Ghufron
Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal
Qonun Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman